Senin, 15 September 2008

Islam, Terorisme dan Media Massa (Refleksi Terhadap Persoalan Keagamaan dan Peran Media Massa)

ISLAM, TERORISME DAN MEDIA MASSA
(Refleksi Terhadap Persoalan Sosial Keagamaan dan Peran Media Massa)
Oleh : Muhammad Khairil
ABSTRAK
Pemerintah memerlukan kerjasama dan dukungan publik, termasuk media, dalam upaya meminimalkan ancaman teroris serta untuk menangkap dan menghukum pelaku teror. Masyarakat menuntut agar pemerintah secepatnya menangkap pelaku teror dan menghukumnya karena telah mengancam harmonitas kehidupan mereka. Sedangkan media massa membutuhkan kebebasan untuk bisa meliput aksi teror tersebut tanpa tekanan dari siapapun, termasuk pemerintah. Isu tentang “terorisme Islam” perlu dilihat dan dipertegas lebih jauh apakah Islam melegitimasi teror atau pelaku terorisme baik negara atau bukan negara yang telah membajak Islam ? Merefleksikan berbagai fenomena terhadap persoalan tersebut dan menyikapinya melalui analisis mendalam dan pemikiran yang kritis akan mewujudkan toleransi pluralisme agama, membangun nilai-nilai demokrasi dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kata Kunci : Islam, Terorisme dan Media Massa
Pendahuluan
Tatkala Tymothy Mc Veigh, pelaku peledakan bom di Oklahoma City Amerika Serikat (AS), pada tahun 1995 yang menewaskan 169 orang, ditanya di siding pengadilan mengapa Ia memilih Murrah Federal Building sebagai sasarannya, Ia menjawab bahwa bangunan tersebut mempunyai banyak ruang terbuka di sekelilingnya sehingga bagus untuk difoto atau disorot televisi. Jawaban tersebut jelas menunjukkan bahwa Mc Vegh telah memperhitungkan segi liputan media dalam aksi terornya (Pudjomartono, 2003:4).
Terorisme dan media massa mempunyai hubungan, karena terorisme tanpa publisitas dari media massa maka aksi teror mereka tidak mencapai target maksimal untuk memperoleh perhatian, mendemonstrasikan kemampuannya, merongrong dan merusak citra pemerintahan, atau untuk menarik dukungan terhadap perjuangan sang teroris.
Serangan terhadap WTC di New York pada 11 September 2001 oleh kelompok teroris Al-Qaedah, agaknya juga dirancang sedemikian rupa untuk bisa menimbulkan efek visual yang dramatis pagi para pemirsa televisi. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa simbol kedigdayaan AS (gedung WTC) ternyata gampang diserang dan diruntuhkan.
Peristiwa Bom Bali, Wj Merriot dan Bom Makassar juga dirancang sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa terorisme memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan tempat wisata dan daerah industri sehingga pemerintah perlu memperhitungkan dan mempertimbangkan aspirasi mereka.
Dalam setiap aksi teror ada beberapa pihak yang berkaitan, yaitu teroris, pemerintah, masyarakat dan media massa. Pemerintah memerlukan kerjasama dan dukungan publik, termasuk media, dalam upaya meminimalkan ancaman teroris serta untuk menangkap dan menghukum pelaku teror. Masyarakat menuntut agar pemerintah secepatnya menangkap pelaku teror dan menghukumnya karena telah mengancam harmonitas kehidupan mereka. Sedangkan media massa membutuhkan kebebasan utnuk bisa meliput aksi teror tersebut tanpa tekanan dari siapapun, termasuk pemerintah.
Dalam meliput kasus aksi terorisme, informasi yang disampikan media kepada publik idealnya memenuhi standarisasi kaidah dan etika jurnalisme, seperti jujur, akurat, proporsional, komprehensif dan tidak memihak karena pada dasarnya tugas jurnalisme adalah memberikan informasi yang layak dan perlu diketahui oleh publik. Tanggung jawab jurnalisme adalah pada kebenaran dan kepentingan publik.
Perdebatan tentang pelaku dan motif dari terorisme sering membawa kepada identifikasi ideologi atau agama dari pelaku teroris, karena ideologi atau agama merupakan sumber legitimasi dari aksinya. Negara mendapatkan legitimasi kekerasan atau teror karena kedaulatan atau kewenangan konstitusionalnya. Sedangkan kelompok masyarakat biasanya mendapat legitimasi dari ideologi atau agama yang ingin diperjuangkannya. Isu tentang “terorisme Islam” perlu dilihat dan dipertegas lebih jauh apakah Islam melegitimasi teror atau pelaku terorisme baik negara atau bukan negara yang telah membajak Islam ?
Persepsi yang bias stereotype dari beberapa kalangan di dunia Barat maupun masyarakat non muslim yang ada di Indonesia telah menempatkan Islam sebagai ancaman. Dampak dari stereotype tersebut tampak lebih kuat semenjak serangan teroris terhadap WTC dan Legian Bali yang di back up oleh media massa sehingga banyak negara dan kelompok masyarakat Islam menjadi target dalam perang melawan terorisme.
Identifikasi hubungan antara media massa dan terorisme merujuk dari berbagai peristiwa yang diliput oleh media massa yang terjadi di Indonesia, baik yang terkait dengan terorisme skala internasional (misalnya, peristiwa 11 September), skala Nasional (bom Bali) dan skala lokal (bom Makassar dan bom Palu), maka hubungan tersebut adalah bagian dari media oriented stategy yaitu bahwa tindakan para pelaku terorisme merupakan hasil perhitungan matang mengenai perilaku media massa. Para pelaku teroris telah merancang secara cermat dan aktivitas mereka diprogram agar mengandung karakteristik yang memang sesuai dengan beragam media. Sedangkan pada tingkat taktik mereka bermain-main dengan kebingungan dikalangan masyarakat dan pemerintah.
Berbagai tuduhan, tudingan, fitnah maupun spekulasi yang sering bersifat prematur, yang kadangkala sulit dipertanggungjawabkan kebenaran, keabsahan dan validitasnya baik yang dikembangkan oleh Amerika Serikat maupun yang berkembang di Indonesia mengarah atau identik pada gerakan Islam radikal atau gerakan Islam fundamentalis (Islam garis keras).
Hal tersebut dapat terlihat pada penangkapan sejumlah tokoh pergerakan Islam, seperti Ja’far Umar Thalib, Habib Rizqie, Ust. Abu Bakar Ba’asyir, Ashar Daeng Salam, Muhtar Dg Lau, Agung Hamid dan para aktivis Islam lainnya serta vonis atas berbagai gerakan Islam seperti Jamaah Islamiah dan beberapa gerakan Islam lainnya yang dianggap memiliki jaringan terorisme, merupakan kemasan berita yang bernuansa terorisme dan identik dengan gerakan organisasi Islam.
Fenomena pemberitaan media massa tentang terorisme dan keterkaitannya dengan khalayak yang ada dalam gerakan organisasi Islam merupakan persoalan sosial keagamaan yang melibatkan peran media massa dan persoalan tersebut memerlukan analisis mendalam dan pemikiran kritis sehingga fitnah, tudingan dan spekulasi prematur dapat terhindarkan dan harmonitas serta pluralisme tetap terjaga dengan baik.
Pergerakan Islam Di Indonesia

Kelahiran organisasi-organisasi Islam serta perkembangannya dewasa ini akan lebih mudah dipahami bila ditempatkan pada periodeisasi sejarah umat Islam di Indonesia. Dalam hal ini penulis mengutip periodeisasi sejarah umat yang pernah dibuat oleh Kuntowijoyo dalam buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba berjudul Islam Orde Baru (1993:282) yaitu sebagai berikut :
1. Pada Periode Mitos
Pada periode ini umat Islam memiliki kepercayaan yang bersifat mistis religius, sehingga dasar pengetahuan waktu itu tertuju pada kepercayaan terhadap ratu adil yang diyakini dapat membebaskan umat dari penderitaan akibat penjajahan dan kemiskinan.
Periode ini diperkirakan berlangsung hingga tahun 1900 yang banyak diwarnai oleh radikalisme seperti perang Diponegoro (1825-1830), pemberontakan Banten pada tahun 1888 dan perang Aceh pada tahun 1873. Isu yang diangkat atau dikumandangkan adalah jihad fi sabilillah (berjuang di jalan allah) melawan orang-orang kafir.
2. Pada Periode Ideologi
Pada periode ini pengetahuan Islam dipahami sebagai formulasi normatif kemudian berkembang menjadi ideologi yang melahirkan action. Periode ini berlangsung kira-kira tahun 1965. Isu penting yang diangkat adalah membentuk baldatun tayyibatun waa rabbun ghafur (Negara sejahtera yang diridhahi oleh allah SWT). Pada masa inilah yang disebut sebagai periode lahirnya gerakan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.
3. Pada Periode Ide atau Ilmu
Pada periode ini, Islam dimunculkan sebagai formulasi teoritis yang memiliki program dan perencanaan, kemudian dilanjutkan dalam kegiatan nyata. Pada periode ini yang diperjuangkan bukan lagi Negara ideal tetapi sistem yang rasional. Perjuanganpun diperluas keberbagai bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dalam setiap periode perkembangan gerakan Islam yang ada di Indonesia, seringkali gerakan perkembangan Islam tersebut dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Fenomena tersebut terlihat pada masa pemerintahan Soeharto atau rezim Orde Baru. Kondisi ummat Islam dibatasi ruang geraknya agar tidak menjadi identitas gerakan politik. Agama dianggap oleh penguasa sebagai ancaman politik yang harus dijinakkan, dan kalau perlu di pinggirkan. Elit politik atau massa yang menggunakan simbol agama untuk melawan hegemoni Negara selalu dituding sebagai ekstrim kanan, banyak aktivis Islam yang masuk penjara, kegiatan organisasi sosial keagamaan selalu diawasi, dan sepak terjangnya selalu di intervensi. Para elit politik tersebut mengalami alienasi politik.
Jatuhnya rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, yang diikuti oleh krisis politik dan ekonomi tidak diragukan lagi sebagai stimulus yang besar bagi gerakan radikalisme Islam yang baru memproklamirkan keberadaan mereka secara umum dan meciptakan dasar baru diantara gerakan Islam di Indonesia serta menyebarluaskannya diantara kaum muslimin. Beberapa kelompok baru yang menonjol adalah Laskar Jihad, Front Pembela Islam dan Angkatan Mujahidin Indonesia (Meuleman, 2001:47).
Dalam setiap gerakan organisasi Islam tentunya memiliki ideologi tersendiri. Ideologi menurut Edwar Shils yang dikutip dalam Rais (1999:188) dipahami sebagai produk dan usaha manusia untuk menciptakan suatu tata intelektual tentang dunia dan sebagai suatu intensifikasi kebutuhan manusia akan peta kognitif dan moral yang harus dicapai dan lahir dalam kondisi krisis diberbagai sektor masyarakat yang tidak dapat menerima pandangan hidup yang sedang berlaku.
Peralihan kekuasaan yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya era reformasi dalam konteks demokrasi telah membuka ruang yang sangat lebar bagi ummat Islam untuk dijadikan sebagai identitas politik yang telah melahirkan beragam pola strategi perjuangan diantaranya adalah Islamisasi masyarakat melalui jalur kekuasaan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pola strategi tersebut cenderung menuntut jatah terlebih dahulu dalam kekuasaan sebagai cermin representasi dari sebuah negara demokrasi. Pola strategi lain adalah Islamisasi sebagai bagian dari proses pembangunan politik bangsa. Pola strategi ini cenderung menetapkan perjuangan ummat Islam sebagai bagian dari perjuangan untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih demokratis (Afandi, 1997:9).
Suatu hal yang sulit dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan adalah ketegangan-ketegangan dan bahkan konflik yang muncul mengiringi perkembangan pemikiran itu. Di satu pihak ketegangan itu muncul oleh suatu keharusan mempertahankan segi doktrinal norma agama dalam situasi dunia yang selalu berubah, sementara dipihak lain ketegangan lahir oleh proses sosiologis.
Di Indonesia ketegangan itu terlihat dari polarisasi yang dikedepankan oleh tiga kaum yang memiliki basis massa yang cukup kuat (Aziz,1999:6) yaitu :
Pertama, Tradisionalisme Islam yang tumbuh subur sejak awal masuknya Islam ke Indonesia. Kaum tradisionalisme Islam memiliki pemikiran keIslaman yang masih terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama fiqhi, hadits, tasauf, tafsir dan tauhid yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ketiga belas.
Kedua, kaum modernis yang umumnya memiliki basis di perkotaan, dimana masyarakat cenderung lebih terbuka dan menerima gagasan-gagasan baru. Visi dasar kaum modernis adalah usaha pemurnian Islam dengan memberantas segala yang berbau khurafat dan bid’ah, melepaskan diri dari ikatan mazhab dan membuka kembali pintu ijtihad.
Ketiga, adalah kaum fundamentalis yang memiliki basis kelompok menengah perkotaan dan umumnya mereka terdidik secara formal. Fundamentalis adalah kaum yang tidak puas atas modernisasi yang dirasakan dapat menggeser nilai-nilai agama dan pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat. Kaum fundamentalis menawarkan konsep Islam secara kaffah yaitu ide Islam menyeluruh (totalistik) yang bersifat langgeng dan komplit yang meliputi seluruh bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta melingkupi segi kehidupan individu maupun kolektif.
Kategorisasi fundamentalisme menurut Martin E. Marty yang dikutip dari situs (http://www.geocities.com/HatSprings/6774/p-8.html) adalah :
1. Fundamentalisme bersifat oppositionalism (paham perlawanan), yaitu gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekularisme maupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama.
2. Fundamentalisme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya.
3. Fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru.
4. Fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Dari berbagai peta pemikiran umat Islam inilah memunculkan berbagai gerakan Islam yang terorganisir secara organisatoris seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, KPPSI, Fron Pembela Islam, Laskar Jihad dan berbagi gerakan organisasi Islam lainnya sebagai wadah bagi umat Islam dalam meningkatkan sumber daya umat dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatn kualitas iman dan taqwa.
Islam dan Terorisme

Pengaruh stereotype sebagian masyarakat dan pengamat barat tentang Islam telah berimplikasi jauh terhadap arah dan sasaran kebijakan kampanye perang melawan terorisme. Kecurigaan Barat terhadap fenomena fundamentalisme dan radikalisme Islam sebagai pendukung dan pelaku tindak terorisme telah menyebabkan perang terhadap terorisme terdistorsi menjadi perang melawan aktivis politik Islam maupun gerakan-gerakan organisasi Islam.
Munculnya kelompok-kelompok radikal dari masyarakat sipil yang menggunakan cara-cara kekerasan atau teror di dalam memperjuangkan tujuan politiknya sering dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan negara. Dominannya negara baik dengan kekerasan atau tidak terhadap masyarakat sipil Islam dalam hal ini gerakan-gerakan politik Islam sering menimbulkan frustasi dan mendorong mereka mengubah jalan dari cara non kekerasan ke jalan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya.
Hal ini bisa terlihat pada fenomena antara terorisme Israel versus terorisme Arab. Terkait antara terorisme Arab versus terorisme Israel terdapat tiga perbedaan pokok yaitu pertama, terorisme Israel adalah resmi didukung oleh organisasi yang bernama Negara dengan perlengkapan yang canggih sedangkan terorisme arab bersifat sporadic, tidak sistimatis, dan tidak didukung oleh persenjataan yang canggih. Kedua, yang dilakukan Israel adalah terorisme sang penindas (terrorism of the oppressor), sedangkan teror balasan Arab hanyalah terorisme sang tertindas (terrorism of the oppressed), yang menggugat ketidakadilan dan kezaliman. Ketiga, pers barat yang mendominasi pers internasional, cenderung memperkecil setiap terorisme resmi Israel, dan sebaliknya membesar-besarkan setiap teror yang dilakukan pihak Arab (Rais, 1999:221).
Memahami Islam secara kaffah berarti memberikan kesempatan bagi setiap orang yang diperlakukan secara tidak manusiawi (zhalim) untuk mengadakan perlawanan demi membela diri. Bahkan, apabila yang bersangkutan mau membalas kejahatan orang itu pun agama membenarkannya. Asalkan setara dengan kejahatan yang diterimanya. Sesungguhnya membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama tidak dikenakan sanksi dosa, karena dosa itu hanya berlaku bagi orang-orang yang berbuat aniaya tanpa berpijak pada logika kebenaran (Hidayat, 2001:xvi).
Islam mengandung ajaran yang sangat komprehensif dan universal. Komprehensif dalam arti mengandung ajaran yang tidak hanya terbatas pada ajaran yang bersifat U’budiyah atau ritual semata, namun menjangkau aspek-aspek kehidupan yang bersifat sosial kemasyarakatan baik dibidang ekonomi, sosial budaya, politik dan kenegaraan.
Universalitas Islam adalah bahwa Islam tidak dibatasi oleh teritorial dan paham kebangsaan yang sempit. Islam memberikan pandangan bahwa bumi ini adalah milik Sang-Pencipta, sehingga dimanapun seorang muslim berada, mereka adalah saudara muslim lainnya yang dituntut untuk senantiasa menjalin harmonitas hubungan sebagai saudara atau dalam perspektif hubungan persaudaraan sesama muslim lebih dikenal dengan istilah Ukhuwah Islamiyah.
Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai suatu tujuan termasuk tujuan yang baik sekalipun. Salah satu kaidah Ushul dalam Islam menegaskan Al-qhayah La Tubarrir Al Wasilah bahwa tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara (Wahid, Sunardi, dan sidik, 2004:42), sehingga bagaimanapun juga Islam tidak identik dengan terorisme, karena terorisme menggunakan segala cara untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu termasuk kepentingan politik.
Dengan demikian cara yang proporsional untuk menghindari kemungkinan adanya tindakan teror bagi umat Islam adalah dengan cara memperbaiki pemahaman, penghayatan dan implementasi keIslaman. Pemahaman yang sempit (eksklusif) dan dangkal harus diperluas dan diperdalam, pemahaman yang subjektif individual harus diobjektivikasi sehingga konstruktif secara sosial dan kultural. Gerakan pencerdasan lewat tafsir keagamaan yang inklusif dan esoterik harus sering digalakkan atau disosialisasikan, sehingga mewujudkan kecerdasan dalam menyikapi pluralisme sosial dan demokratisasi dalam bernegara.
Media Massa dan Terorisme
Aksi terorisme kontemporer sebenarnya telah muncul sejak akhir tahun 1960-an, ditandai dengan terjadi aksi pembajakan pesawat oleh Front Rakyat Pembebasan Palestina (PFLP). Sejak peristiwa tersebut, makin banyak studi dilakukan terhadap terorisme dan hubungannya dengan media, lebih tepatnya terorisme dalam liputan media massa.
Secara historis kata terorisme pertama kali dipopulerkan saat revolusi Prancis, dimana sistem atau rezim de la terreur pada 1793-1794 dimaknai secara positif sebagai cara memulihkan tatanan saat periode kekacauan dan pergolakan anarkis setelah peristiwa pemberontakan rakyat pada tahun 1789, sehingga rezim teror ketika itu adalah instrumen pemerintahan dari negara revolusioner. Pada pasca Perang Dunia II, terorisme dipakai untuk menyebut revolusi dengan kekerasan oleh kelompok nasionalis anti kolonialis di Asia, Afrika dan Timur Tengah selama kurun 1940-an dan 1950-an (Permadi, 2003 :4).
Kata teror berasal dari bahasa latin “ter’or.less” yang berarti rasa ketakutan (fright) atau rasa sangat takut (great fear). Terrorism berarti “policy of getting what one wants in politic by using murder etc” (Carver dkk, 1974). Dalam kamus Webster’s New School and Office Dictionary oleh Noah Webster, Fawcett Crest Book, disebutkan bahwa teror berarti Extreme fear (ketakutan yang amat sangat), one who excites extreme fear (seorang yang gelisah dalam ketakutan yang amat sangat), the ability to cause such fear (kemampuan menimbulkan ketakutan), atau pengertian tersebut dapat juga diartikan sebagai the systematic use of violence, as murder, by a party or faction to maintain power, promote, political, etc (http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/0000019.html).
Sebenarnya, hingga saat ini belum ada definisi terorisme yang diakui secara universal, termasuk PBB sendiri mengalami kesulitan untuk mendefinisikannya. Namun dengan demikian bukan berarti tidak bisa mengenali karakteristik dari terorisme. Terorisme dikenal sebagai bentuk kekerasan yang digolongkan kedalam “kekerasan politik” atau juga disebut “kekerasan sipil”. Kekerasan politik mencakup suatu spektrum yang sangat luas, mulai dari unjuk rasa atau protes dengan menggunakan kekerasan, pemberontakan spontan dan sporadis, pemberontakan berencana dan berlanjut, kudeta, insurjensi, sampai ke revolusi (Nainggolan, 2002:106).
Karakteristik tersebut sesuai dengan defenisi yang dikemukakan oleh Adams (1986:6) yaitu terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelopok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari korban-korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbuhkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada.
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang terorisme tersebut maka berikut ini dikemukakan beberapa definisi tentang terorisme yaitu :
1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerwadarmita (1976:1063) didefinisikan bahwa terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik.
2. Dirjen Perlindungan HAM Departemen Kehakiman dan HAM memberikan definisi bahwa terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial atau politik (Sulistyo, Achwan dan Soetrisno, 2002:3).
3. Dalam Pasal 1 Perpu No. 01 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme (sekarang sudah disahkan menjadi undang-undang No. 15 Tahun 2003) tentang pemberantasan tindak pidana terorisme disebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistimatis dengan maksud menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral peradaban, rahasia, Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional.
Di samping berbagai definisi yang telah dikemukakan tersebut, maka media juga mencoba membuat definisi yang berbeda ketika memberitakan tindakan terorisme. Definisi menurut media massa yang dikemukakan oleh Laquer (1987:2001) dapat disebutkan secara garis besar sebagai berikut :
1. Tindakan dan ancaman kekerasan, baik oleh individu ataupun kelompok, untuk merongrong kemapanan politik legal.
2. Penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dalam situasi dimana sarana-sarana propaganda dan penyampaian pendapat lainnya masih ada (dalam masyarakat demokratis)
3. Kekerasan bermotif politik yang dilakukan kelompok minoritas tanpa menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan kemungkinan jatuhnya korban tak bersalah.
4. Tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan politik dengan cara-cara illegal.
Dari definisi-definisi tersebut diatas, maka ada tiga unsur utama dalam memaknai terorisme yaitu pertama, penggunaan kekerasan secara sistimatik yang dilakukan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Kedua, memiliki tujuan-tujuan politik dan yang terakhir adalah niat menebarkan ketakutan pada masyarakat dalam memaksakan kehendak.
Menurut salah seorang pemerhati media dari program studi komunikasi massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yaitu Ibnu Hamad yang dikutip dalam Kompas (2003:9), bahwa media massa dalam memberitakan kejadian teroris kurang patut, khususnya ketika sejumlah stasiun televisi menayangkan secara telanjang dan mengeksploitasi gambar mengenaskan para korban bom di hotel Wj Marriot, Jakarta.
Institusi media hendaknya menyadari bahwa ketika fakta hendak disampaikan kepada publik, strategi pengemasan berita harus dilakukan dengan berpegang pada etika, juga estetika. Pengemasan berita secara telanjang tersebut dapat dikatakan turut mengeksploitasi rasa takut dan kengerian publik. Menurut Ibnu, yang terpenting dilakukan oleh jurnalis sebenarnya adalah bagaimana jurnalis melakukan investigasi, bukan malah melakukan eksploitasi gambar-gambar mengerikan para korban bom.
Dalam hal ini Weiviorla (1993:43-46) menjabarkan empat hubungan antara terorisme dan media yaitu :
1. Pure indifference, yaitu teroris tidak hendak menakut-nakuti kelompok populasi sasaran diluar korban-korban mereka ataupun tidak hendak merealisasikan kudeta propaganda melalui aksi terorisme mereka.
2. Relative indifference, yaitu kekerasan tidak semata-mata berorientasi pada media, tujuannya tidak untuk mempertontonkan aksi atau menarik perhatian media massa.
3. Media oriented strategy, yaitu tindakan terorisme merupakan hasil perhitungan matang mengenai perilaku media massa. Pada tingkat taktik mereka bermain-main dengan kebingungan dikalangan masyarakat atau pemerintah.
4. A total break with the broader community, yaitu jurnalis menjadi musuh teroris.
Ketika era dunia telah menjadi era media massa, tindakan para teroris seperti mendapat kendaraan yang tepat. Terlebih ketika sebuah teror memang merupakan pesan yang harus tersebar luas secara massif. Kendaraan yang paling mampu mendistribusikan pesan itu adalah media massa.
Penutup

Peristiwa-peristiwa terorisme senantiasa mengguncang kemanusiaan sepanjang masa. Insiden serangan World Trade Center pada tanggal 11 September 2001 bagaimanapun telah mengubah pandangan dunia terhadap kekerasan teroristik. Hal yang sangat disayangkan bahwa ternyata kekerasan terorisme menjadi legitimasi bagi Amerika Serikat (AS) untuk melakukan invasi ke berbagai negara muslim yang dituduh dan difitnah sebagai negara sarang teroris. Irak dan Afganistan adalah dua negara yang menjadi korban dari arogansi AS. Melalui pidato Presiden George W Bush sudah memproklamirkan demarkasi yang cukup tegas “Jika bangsa-bangsa tidak bergabung dengan AS dalam perang melawan terorisme, maka itu berarti melawan kami”.
Sangat ironis ketika tindak penanganan terhadap terorisme menyebabkan fitnah, tudingan dan tuduhan terhadap ideologi, keyakinan dan pemeluk suatu agama tertentu. Perlu penyelidikan yang mendalam dan prosedural yang benar sesuai hukum yang berlaku, barulah kemudian dilakukan eksekusi terhadap mereka yang telah divonis sebagai teroris. Sama halnya ketika media massa memberikan informasi kepada para khalayak, tentunya harus memenuhi standar dan kaidah jurnalistik yang telah ditetapkan sehingga masyarakat memperoleh informasi yang benar dan akurat. Pemikiran yang kritis dan analisis yang mendalam menjadi tolak ukur bagi terciptanya tatanan masyarakat yang memiliki toleransi terhadap pluralisme, menjunjung demokrasi dan menghargai setiap hak manusia atas kemanusiaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, James. 1986. The Financing of Terror: How The Groups That are Terrorizing The World Get The Money To do It. Simon and Schuster, New York.

Afandi, Arif. 1997. Islam Demokrasi Atas Bawah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

De Fleur, M.L. dan S. Ball Rokeach. 1975. Theories of Mass Communication. McKay Company, New York.

Hidayat, Komaruddin. 2001. Agama Di Tengah Kemelut. Mediacita, Jakarta.

Laquer, Walter. 1987. The Age of Terrorism. Little Brown, Boston.

Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yayasan Galang, Yogyakarta.

McQuail, Denis. 1987. Mass Communication Theory. Second Edition. Diterjemahkan oleh Agus Dharma dan Amiruddin Ram. Erlangga, Jakarta.

Meuleman, Johan. 2001. Islam In the Era Of Globalization : Muslim attitudes towards and identity. INIS, Jakarta.

Nainggolan, Poltak Partogi. 2002. Terorisme dan Tata Dunia Baru. Tiga Putra Utama, Jakarta

Nata, H. Abuddin. 2001. Peta Kerangka Pemikiran Islam Di Indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Permadi, Goenawan. 2003. Fantasi Terorisme. Masscom Media. Semarang

Pudjomartono, Susanto. 2003. Terorisme dan Media. Kompas, Jakarta.

Rais, Amin. 1999. Cakrawala Islam. Mizan. Bandung

Tebba, Sudirman. 1993. Islam Orde Baru. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Wahid, Sunardi, & Sidik. 2004. Kejahatan Terorisme perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Refika Aditama, Bandung

Wieviorke, Michel. 1993. The Making of Terrorism. The University of Chicago Press, London.
















Tidak ada komentar: