Jumat, 22 Agustus 2008

Pluralisme, Toleransi dan Budaya Komunikasi Umat Beragama

Pluralisme, Toleransi dan Budaya Komunikasi Umat Beragama
Oleh : Muhammad Khairil
Abstrak
Suatu Bangsa, mempunyai Bahasa dan Negara (Tanah Air) yang sama. Hukum Ketata-negaraan serta segala aspek yang diberlakukan sesuai kesepakatan dari Bangsa itu. Suatu Bangsa juga memiliki Budaya yang sama, yang merupakan cerminan berbagai tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Akan tetapi, suatu Bangsa tidak harus memiliki satu Agama yang sama.
Semangat Pluralisme, toleransi dan budaya komunikasi dibangun berdasarkan kesadaran umat beragama. Setidaknya semangat tersebut dapat terbangun dengan satu slogan yang mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan. Perjuangan demi pluralisme erat kaitannya dengan perjuangan melawan budaya kekerasan.
Berbagai fenomena dan konflik keagamaan yang sering kali muncul di berbagai wilayah yang ada di Indonesia khususnya di Wilayah Sulawesi Tengah membutuhkan sebuah formulasi paradigma pemahaman yang mampu mentransformasi masyarakat pada tatanan pluralistik dan membuka keran toleransi sehingga melahirkan budaya komunikasi yang mengajak pada kebaikan dengan hikmah, mauizatil hasanah (nasehat yang baik) dan dengan proses dialogis yang santun (Wa Jadilhum Billati Hiya Ahsan).

Kata Kunci : Pluralisme, Toleransi dan Budaya Komunikasi
A. Pendahuluan
Manusia, siapa pun dia, pasti pernah disergap oleh pertanyaan-pertanyaan fundamental dalam sejarah hidupnya. Semisal, apa sebenarnya hakikat kehidupan dan kebenaran. Sekalipun kepenasaran bawaan semacam ini terkadang dilindas oleh kesibukan praktis sehari-hari, ia sesungguhnya tidak akan pernah padam sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan terus menuntut haknya yaitu jawaban yang benar. Nah, di sinilah asal mula agama dan sains berjumpa. Masing-masing mengklaim sebagai juru bicara kebenaran yang paling otoritatif.
Terhadap pertanyaan, ''bagaimana manusia pertama muncul'', misalnya, agama dan sains menawarkan jawaban yang sekurang-kurangnya tampak berbeda. Agama berbicara tentang Adam sebagai (hasil) ciptaan Tuhan, sementara sains berbicara tentang manusia sebagai produk evolusi. Orang bisa cepat-cepat menyimpulkan adanya hubungan konflik antara agama dan sains. Padahal, bukan tidak mungkin bisa diperoleh jawaban-jawaban yang sejalan dari kedua institusi ini. Lalu, bagaimana sebenarnya mendudukkan perkara ini dalam meja pemeriksaan kritis-argumentatif ?
Ian G. Barbour, seorang mahaguru di dua disiplin sekaligus yaitu fisika dan teologi, mencoba memetakan empat mazhab tentang hubungan sains dan agama yaitu Konflik, Independensi, Dialog dan Integrasi. Pemetaan demikian, meskipun selalu mengandung simplifikasi, terbukti cukup memadai untuk membaca lanskap isu, gagasan, usulan solusi yang terbentang dalam wacana seputar hubungan agama dan sains. Barbour kemudian menerapkan tipologi empat mazhab ini ke dalam disiplin-disiplin keilmuan yang sering memunculkan isu-isu krusial dalam konteks hubungan sains dan agama: evolusi, kosmologi, fisika kuantum, genetika dan neurosains (dikutip dalam Jalaluddin, 2004).
Wacana ini menjadi demikian penting mengingat agama dan sains merupakan dua di antara kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi nasib sejarah kemanusiaan, dulu, kini, dan masa depan. Sebab, seperti ditengarai oleh Whitehead, ''Tidakkah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan sejarah ditentukan oleh sikap generasi sekarang terhadap hubungan antara agama dan sains.''
Dalam sejarah Kristiani, para teolog kristen dan bapak-bapak gereja di Barat pernah memperoleh serangan yang amat keras dari para filosof dan Ilmuan ketika mereka mengatakan bahwa agama telah usang dan telah kehilangan kredibilitasnya untuk menyelenggarakan kehidupan yang berkeadaban, damai dan mampu melindungi hak-hak asasi manusia.
Puncak perlawanan dan pengingkaran peran sosial agama ini secara lantang diproklamasikan oleh Friendrich Wilhelm Nietzche dengan diktumnya “Tuhan telah mati”. Pandangan Nietzche itu kemudian memperoleh dukungan dari para ilmuan ternama lain, seperti Sigmund Freud, Karl Marx dan sederetan nama lain yang pada dasarnya berpendapat bahwa ajaran agama tak lebih sebagai sebuah ilusi dan hiburan sesaat untuk lari dari derita hidup dan sama sekali bukan penyelesaian problem hidup itu sendiri.
Agama sering diposisikan sebagai objek kajian metafisis yang hasil dan tingkat kebenarannya dianggap spekulatif, namun secara sosial kenyataannya dampak kehadiran agama merupakan sumber peradaban yang cukup besar dalam sejarah kemanusiaan, namun agama juga merupakan sumber konflik sosial yang amat kejam dan berkepanjangan.
Berbagai konflik sosial bernuansa agama baik antar sesama pemeluk ajaran satu agama maupun yang berbeda keyakinan seringkali mewarnai kehidupan setiap insan beragama. Manusia saling menyalahkan satu sama lain, klaim kebenaran sebagai kebenaran mutlak, hakim menghakimi hingga saling membunuh satu sama lain atas nama agama. Akar persoalan yang sesungguhnya adalah hanya karena keberagamaan yang bersifat subjektif, menonjolkan nilai-nilai egoisme dan arogansi, sehingga perspektif nilai kebenaran dalam beragama hanya dipandang dari satu sudut pandang.
Di Maluku, Ambon, dan di Poso, masyarakatnya sibuk saling membunuh atas nama Tuhan mereka masing-masing. Ironisnya, ketika berbagai persoalan sosial keagamaan muncul bukan untuk menjadikan Tuhan sebagai “sebab” dan “tujuan” segala permohonan dan pengabdian, melainkan Tuhan dipinjamkan nama-Nya, guna dimanfaatkan sebagai alat, sebagai instumen politik untuk membenarkan berbagai tindakan yang justru melawan kehendak Tuhan itu sendiri.
Perbincangan tentang agama seringkali berakhir dengan perbedaan yang meruncing hanya karena masing-masing memandang agama dari dimensi-dimensi yang berbeda. Disilah dibutuhkan semangat Pluralisme, toleransi dan budaya komunikasi yang dibangun berdasarkan kesadaran umat beragama. Setidaknya semangat tersebut dapat terbangun dengan satu slogan yang mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan. Perjuangan demi pluralisme erat kaitannya dengan perjuangan melawan budaya kekerasan.
B. Paradigma dan Wacana Pluralisme
Dewasa ini, agenda penting bagi masa depan bangsa masih sangat tergantung pada sejauh mana hubungan antar umat beragama tercipta di tengah pluralisme agama. Karena pluralisme agama itu sendiri masih merupakan tantangan khusus bagi agama-agama. Dari sinilah muncul arti pentingnya pencarian konvergensi agama-agama. Ada beberapa argument penting sebagai kerangka acuan pemikiran akan arti pentingnya pencarian konvergensi agama-agama yaitu :
Pertama, pluralisme agama secara praktis belum dipahami umat beragama. Sehingga, yang tampil ekspresif ke atas permukaan adalah sikap eksklusifisme beragama. Sikap ini merasa bahwa ajaran yang paling benar adalah abasah hanyalah agama yang dipeluknya. Sementara pada agama lain dianggap sebagai “yang salah” dan bahkan “sesat”. Maka, hukumnya menjadi wajib “diperangi” dan kalau perlu dikonversikan pada agamanya. Inilah akar konflik antar agama seringkali terjadi dan akhirnya merusak rajutan tata kerukunan umat beragama .
Bila ajaran Kristiani memandang kasih sebagai tonggak agamanya (Rachmat, 2004) maka dalam konsepsi Islam agama dipandang sebagai rahmat bagi kehidupan. Bahkan secara normatif, Islam mengakui hak dan keberadaan pengikut agama lain atau para ahli kitab. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah / 2 : 256 dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Pada surah lain Allah juga menegaskan bahwa “untukmu agamamu dan untukkulah agamaku (Q.S. 109:6). Pengakuan ini secara otomatis merupakan prinsip dasar doktrin Islam terhadap pluralisme agama dan sosial budaya sebagai kehendak Tuhan.
Kedua, di tengah kondisi pluralisme agama ini, banyak pemeluk agama tertentu yang berpaham eksklusif cendrung memonopoli klaim kebenaran agama (claim of truth) dan klaim keselamatan agama (claim of salvation). Padahal, secara sosiologis, menurut cendikiawan Budhy Munawar (dalam Kindi, 2001) bahwa klaim kebenaran agama dan keselamatan itu, disamping hanya akan memicu berbagai konflik sosial dan politik juga hanya akan memancing “perang suci antaragama”.
Jika pengertian negara sekuler dilawankan dengan negara agama, Indonesia bukan negara agama, melainkan negara sekuler. Dalam negara sekuler, negara tidak didasarkan pada suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun sering juga dikatakan Indonesia tidak sepenuhnya sekuler, karena dasar negara dalam konstitusinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi negara tidak punya tugas melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya. Sementara itu warga negara mempunyai kebebasan untuk menjalankan agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
Ketuhanan Yang Maha Esa berkedudukan sebagai sumber moral yang dijadikan pedoman bagi sikap dan perilaku warga. Sistem moral itu dapat digali dari ajaran-ajaran agama yang dipeluk masyarakat. Tapi ajaran-ajaran agama itu harus melalui proses rasionalisasi dan objektifikasi. “Tuhan” di sini adalah “Tuhan” lintas agama.
Dengan demikian, setiap agama punya peranan dalam membangun moral bangsa. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Di sini, berlaku asas pluralisme yang mengakui kebenaran eksklusif masing-masing agama, terutama dalam hal akidah (creed) dan peribadatan (cult). Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama diletakkan pada tingkat individu. Artinya, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Syariat Islam bisa dilaksanakan, tapi pada tingkat masyarakat, oleh para pemeluknya sendiri.
Inilah makna sekularisme yang sebagaimana dikatakan oleh Talcott Parson, mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan kekuasaan negara (kesatuan al din wa aldaulah). Hukum agama yaitu syariat tidak berkedudukan sebagai hukum positif, melainkan sebagai hukum volunter (voluntary law), meminjam istilah tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara.
Jika melihat pada sejarahnya, yaitu sejarah gereja Kristen, asal sekularisme lahir, maka liberalisme agama merupakan salah satu unsur sekularisme itu. Artinya, setiap individu dalam memeluk dan menjalankan agama, bebas dari otoritas keagamaan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam La rohbaniyah fi al Islam (tidak ada otoritas keagamaan dalam Islam). Sebab otoritas keagamaan selalu cenderung mengurangi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut keyakinan individu. Sementara itu, iman tidak bisa dipaksakan oleh otoritas apa pun. Inilah makna la ikraha fi al din (tidak ada paksaan dalam agama). Di sinilah asas liberalisme dan pluralisme bertemu dengan sekularisme, yang sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama, termasuk Islam.
Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip yang sangat penting dalam sekularisme dan harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu, prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan dalam keberagamaan. Maksud UU ini adalah, pertama agar bisa membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal akidah (dasar-dasar kepercayaan) dan ibadah maupun syariat agama (code) pada umumnya. Kedua, di lain pihak memberikan kesadaran kepada setiap warga negara akan hak-hak asasinya, dalam berpendapat, berkeyakinan, dan beragama. UU semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih detail.
Tentang hal tersebut, menurut Dawam Raharjo yang dikutip dalam situs http://www.mirifica.net/wmview.php bahwa kebebasan beragama setidaknya terkait dengan lima hal pokok yaitu :
Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Berpindah agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran baru dalam beragama. Berpindah agama juga tidak disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti mempunyai agama lain, melainkan karena menentang perintah Tuhan. Perpindahan agama harus dianggap peristiwa biasa dan sering disambut oleh kalangan agama yang baru dipeluk, sebagaimana tampak dalam penayangan orang-orang mualaf atau pemberian zakat kepada mualaf yang sering kali sebelumnya memeluk agama lain.
Ketiga, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, dengan 'membeli' keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu.
Penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan keselamatan secara langsung dari orang ke orang atau dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan tujuan proselitasi adalah tindakan yang tidak sopan dan sangat mengganggu, karena itu harus dilarang. Kegiatan penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak dilarang, tetapi upaya kristenisasi atau islamisasi sebagai proselitasi tidak diperkenankan. Jika tata cara penyebaran agama bisa diatur, tidak akan ada lagi tuduhan kristenisasi, islamisasi, atau pemurtadan.
Keempat, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah, dianggap bertentangan dengan UU. Konsekuensinya, pencantuman agama dalam kartu identitas, misalnya, tidak diperlukan, karena bisa membuka peluang bagi favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk atau berpengaruh di pemerintahan.
Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yang bersifat antiagama dan anti-Tuhan harus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam rangka ateisme ini juga dilarang mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis, sebagai diskursus ilmiah, tidak dilarang tapi boleh dibantah secara ilmiah pula.
Dilematisme keberagamaan seringkali muncul ketika nilai pluralisme dihadapkan dengan nilai tauhid dalam ajaran Islam. Secara etimologis tauhid berarti mengesakan. Formulasi paling pendek dari nilai tauhid tersebut adalah kalimat la ilaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah). Seorang manusia tauhid mengemban tugas untuk melaksanakan tahrirun nas min ‘ibadatil ‘ibad ila ibadatillah (membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia menuju penyembahan hanya ke pada Allah S.W.T).
Persoalan tersebut bisa terjawab dengan memaknai agama dalam dimensi vertikal dan hubungan horizontal. Nilai tauhid dimaknai sebagai bentuk pengabdian hamba pada Khaliknya yang tidak terbatasi oleh penyembahan dalam bentuk apapun selain hanya ke pada Allah S.W.T. Sedangkan hubungan horizontal tersebut, inilah yang dimaknai dalam bingkai pluralisme, artinya silahkan beragama menurut apa yang saudara yakini dan kami beragama sesuai dengan keyakinan kami.
C. Toleransi dan Budaya Komunikasi Umat Beragama
Sesungguhnya moralitas agama yang paling mengesankan dalam kehidupan manusia adalah menolak kejahatan dengan kebaikan. Etika ketuhanan yang selalu tulus memberikan “air susu” disaat orang suka melempar “air tuba”. Kendati setiap hari orang beragama disakiti, tetapi ajaran agamanya memintanya untuk bersabar dan kalau perlu memaafkan. Dengan keyakinan bahwa sikap sabar dan memaafkan itu justru akan mendekatkan dirinya dengan cinta kasih Tuhan dan menjauhkan musuhnya dari kasih sayang-Nya (Maliki, 2000).
Berbagai kajian komparatif-historis terhadap praktik-praktik kekerasan di Indonesia memperlihatkan betapa sangat dalamnya akar-akar budaya kekerasan telah tertanam dan tersebar luas. Di situ penggunaan cara-cara kekerasan, baik yang dilakukan secara sistematis oleh negara maupun praktik-praktik sporadis masyarakat, sering kali diterima sebagai jalan penyelesaian masalah yang legitim. Bukankah jalan penyelesaian yang lebih beradab, yakni melalui mekanisme hukum, kerap disumbat oleh kepentingan kelompok yang lebih beruntung ?
Salah satu temuan menarik yang dikemukakan Colombijn dan Lindbald (Hidayat, 2001) adalah bahwa kekerasan dipandang sebagai cara legitim "hanya jika ditujukan pada orang asing (outsiders)." Di sini, "orang asing" merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok (outgroup), tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok (ingroup) yang dipersepsi sebagai "orang asing". Atau bahkan bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti "zionis", "kapitalis", "komunis", dstnya yang tidak pernah jelas dan berlaku semena-mena.
Dengan kata lain, akar-akar kekerasan itu sudah ada pada bagaimana cara kita mempersepsi dan memperlakukan sang liyan. Ketika orang lain tidak lagi diterima dan dihargai sebagai orang lain dengan segala keberlainannya, melainkan direduksi menjadi sekadar simbol identitas yang beku dan dibekukan, atau dikonstruksi sebagai “orang asing” yang layak disingkirkan, di situ kekerasan telah siap menebarkan jaring-jaring pesonanya. Masalahnya jadi luar biasa kompleks ketika identitas tersebut merupakan hasil sedimentasi (proses pengendapan) trauma historis berkepanjangan, dan selalu dihidupkan demi kepentingan langgengnya kekuasaan.
Sejarah panjang menjadi-Indonesia dipenuhi oleh trauma historis seperti itu, konstruksi “musuh-musuh imajiner” yang dapat dikenakan pada orang atau kelompok manapun yang hendak disingkirkan. Identitas kecinaan vis-à-vis “pribumi”, kekristenan sebagai “agama kolonial”, kaum penghayat kepercayaan sebagai kelompok “belum beragama” dstnya, merupakan hantu-hantu yang terus menerus menggelisahkan kenyamanan umat beragama. Pada titik itu, tidak salah jika upaya membangun tatanan ke-Indonesia-an yang anti kekerasan bagaikan upaya mempertahankan suatu utopia.
Seorang teolog dari Amerika Latin pernah mengingatkan, apa yang disebut “utopia” ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi, utopia menunjuk pada “wilayah” (topos) yang belum ada (u-topos); tetapi, pada sisi lain, utopia justru merupakan kritik terhadap tatanan yang sudah ada. Menurut teolog itu dan Penulis setuju dengannya bahwa di situlah fungsi hakiki panggilan religius yang menjadi spirit sejati setiap perjuangan melawan budaya kekerasan (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=900).
Di situ, utopia anti kekerasan merupakan resistensi terhadap pemakaian cara-cara kekerasan, yakni mengatakan “Tidak!” pada jalan kekerasan, sekaligus menyibakkan harapan bagi masa depan yang lebih baik, yakni mengatakan “Ya!” pada kehidupan itu sendiri. Dalam setiap tindak kekerasan, kehidupanlah yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan. Sebab setiap bentuk kekerasan pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap kehidupan. Budaya kekerasan hanya akan melahirkan budaya kematian.
Akan tetapi, seperti ungkapan sebelumnya di atas, mengatakan “Tidak!” terhadap budaya kekerasan harus bertitik tolak dari kritik-diri yang radikal (radix: akar). Sebab benih-benih kekerasan sudah dimulai dari pra-andaian yang melandasi bagaimana mempersepsi sang Ilahiyah, kategori-kategori yang digunakan untuk menempatkan orang lain dalam kotak-kotak kecil identitas yang beku, mendefinisikan mereka, dan sekaligus membungkam suara-suara mereka.
Pada titik inilah perlawanan terhadap budaya kekerasan berkaitan erat dengan perjuangan demi pluralisme, yakni sikap penghargaan terhadap keragaman yang memungkinkan Sang “Ilahiyah” dapat diterima sebagaimana adanya. Pluralisme tidak pernah berupaya menyamaratakan semuanyaakan tetapi pluralisme justru menerima dan menghargai keragaman, malah mau merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah kehidupan. Dengan kata lain, pluralisme adalah mengatakan “Ya!” pada kehidupan.
Panggilan etis untuk merawat keragaman, yakni mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan, menurut Penulis merupakan tuntutan paling hakiki yang harus dijawab para elite politik. Taruhannya sangat mendasar: keadaban publik yang menjamin kehidupan bersama masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia.
Berbagai fenomena dan konflik keagamaan yang sering kali muncul di berbagai wilayah yang ada di Indonesia khususnya di Wilayah Sulawesi Tengah membutuhkan sebuah formulasi paradigma pemahaman yang mampu mentransformasi masyarakat pada tatanan pluralistik dan membuka keran toleransi sehingga melahirkan budaya komunikasi yang mengajak pada kebaikan dengan hikmah, mauizatil hasanah (nasehat yang baik) dan dengan proses dialogis yang santun (Wa Jadilhum Billati Hiya Ahsan).
D. Penutup
Suatu Bangsa, mempunyai Bahasa dan Negara (Tanah Air) yang sama. Hukum Ketata-negaraan serta segala aspek yang diberlakukan sesuai kesepakatan dari Bangsa itu. Suatu Bangsa juga memiliki Budaya yang sama, yang merupakan cerminan berbagai tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Akan tetapi, suatu Bangsa tidak harus memiliki satu Agama yang sama. Di dalam masyarakat modern yang menganut faham demokrasi dan skuler, perbedaan adat istiadat, ritual keagamaan serta tata-krama maupun bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnis pembentuknya, dihargai setinggi-tingginya serta merupakan kekayaan Budaya dari bangsa tersebut.
Walaupun secara lahiriah manusia tak dapat bebas secara mutlak, akan tetapi secara batiniah (terutama dalam memilih agama dan kepercayaannya masing-masing yang dianggap paling sesuai) adalah mutlak. Tak ada otoritas apapun, baik di alam ini maupun alam lainnya, yang bisa membatasi 'hak manusia' untuk menganut agamanya sesuai dengan pilihannya.
Di sinilah akar dari benturan budayawi sementara umat beragama di Indonesia. Yang pasti, yang berbenturan adalah budayanya, bukan agamanya. Agama tak penah mengajarkan siapapun untuk berbenturan satu dengan yang lainnya, karena ia masalah batiniah yang amat pribadi. Bila kita ikut-ikutan menganut budaya dari bangsa dimana suatu agama dilahirkan, secara pasti akan berbenturan dengan budaya bangsa kita. Dan ini seringkali dirancukan, bahkan oleh mereka yang menyandang predikat formal tertentu di masyarakat. Hal ini perlu disayangkan mengingat bahwa kaum intelektual lah yang justru menjadi 'agent of mutual understanding', bukan sebaliknya.




Daftar Pustaka
Hidayat, Komaruddin. 2001. Agama di Tengah Kemelut. Mediacita, Jakarta.
Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yayasan Galang, Yogyakarta.
Mulyana, Deddy. 2001. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyana, Deddy dan Rachmat, Jalaluddin. 2001. Komunikasi Antarbudaya. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Rais, Amin. 1999. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta. Mizan, Bandung.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Islam Alternatif. Mizan, Bandung.
­­­________________ . 2004. Psikologi Agama. Mizan, Bandung.