Senin, 15 September 2008

Islam, Terorisme dan Media Massa (Refleksi Terhadap Persoalan Keagamaan dan Peran Media Massa)

ISLAM, TERORISME DAN MEDIA MASSA
(Refleksi Terhadap Persoalan Sosial Keagamaan dan Peran Media Massa)
Oleh : Muhammad Khairil
ABSTRAK
Pemerintah memerlukan kerjasama dan dukungan publik, termasuk media, dalam upaya meminimalkan ancaman teroris serta untuk menangkap dan menghukum pelaku teror. Masyarakat menuntut agar pemerintah secepatnya menangkap pelaku teror dan menghukumnya karena telah mengancam harmonitas kehidupan mereka. Sedangkan media massa membutuhkan kebebasan untuk bisa meliput aksi teror tersebut tanpa tekanan dari siapapun, termasuk pemerintah. Isu tentang “terorisme Islam” perlu dilihat dan dipertegas lebih jauh apakah Islam melegitimasi teror atau pelaku terorisme baik negara atau bukan negara yang telah membajak Islam ? Merefleksikan berbagai fenomena terhadap persoalan tersebut dan menyikapinya melalui analisis mendalam dan pemikiran yang kritis akan mewujudkan toleransi pluralisme agama, membangun nilai-nilai demokrasi dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kata Kunci : Islam, Terorisme dan Media Massa
Pendahuluan
Tatkala Tymothy Mc Veigh, pelaku peledakan bom di Oklahoma City Amerika Serikat (AS), pada tahun 1995 yang menewaskan 169 orang, ditanya di siding pengadilan mengapa Ia memilih Murrah Federal Building sebagai sasarannya, Ia menjawab bahwa bangunan tersebut mempunyai banyak ruang terbuka di sekelilingnya sehingga bagus untuk difoto atau disorot televisi. Jawaban tersebut jelas menunjukkan bahwa Mc Vegh telah memperhitungkan segi liputan media dalam aksi terornya (Pudjomartono, 2003:4).
Terorisme dan media massa mempunyai hubungan, karena terorisme tanpa publisitas dari media massa maka aksi teror mereka tidak mencapai target maksimal untuk memperoleh perhatian, mendemonstrasikan kemampuannya, merongrong dan merusak citra pemerintahan, atau untuk menarik dukungan terhadap perjuangan sang teroris.
Serangan terhadap WTC di New York pada 11 September 2001 oleh kelompok teroris Al-Qaedah, agaknya juga dirancang sedemikian rupa untuk bisa menimbulkan efek visual yang dramatis pagi para pemirsa televisi. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa simbol kedigdayaan AS (gedung WTC) ternyata gampang diserang dan diruntuhkan.
Peristiwa Bom Bali, Wj Merriot dan Bom Makassar juga dirancang sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa terorisme memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan tempat wisata dan daerah industri sehingga pemerintah perlu memperhitungkan dan mempertimbangkan aspirasi mereka.
Dalam setiap aksi teror ada beberapa pihak yang berkaitan, yaitu teroris, pemerintah, masyarakat dan media massa. Pemerintah memerlukan kerjasama dan dukungan publik, termasuk media, dalam upaya meminimalkan ancaman teroris serta untuk menangkap dan menghukum pelaku teror. Masyarakat menuntut agar pemerintah secepatnya menangkap pelaku teror dan menghukumnya karena telah mengancam harmonitas kehidupan mereka. Sedangkan media massa membutuhkan kebebasan utnuk bisa meliput aksi teror tersebut tanpa tekanan dari siapapun, termasuk pemerintah.
Dalam meliput kasus aksi terorisme, informasi yang disampikan media kepada publik idealnya memenuhi standarisasi kaidah dan etika jurnalisme, seperti jujur, akurat, proporsional, komprehensif dan tidak memihak karena pada dasarnya tugas jurnalisme adalah memberikan informasi yang layak dan perlu diketahui oleh publik. Tanggung jawab jurnalisme adalah pada kebenaran dan kepentingan publik.
Perdebatan tentang pelaku dan motif dari terorisme sering membawa kepada identifikasi ideologi atau agama dari pelaku teroris, karena ideologi atau agama merupakan sumber legitimasi dari aksinya. Negara mendapatkan legitimasi kekerasan atau teror karena kedaulatan atau kewenangan konstitusionalnya. Sedangkan kelompok masyarakat biasanya mendapat legitimasi dari ideologi atau agama yang ingin diperjuangkannya. Isu tentang “terorisme Islam” perlu dilihat dan dipertegas lebih jauh apakah Islam melegitimasi teror atau pelaku terorisme baik negara atau bukan negara yang telah membajak Islam ?
Persepsi yang bias stereotype dari beberapa kalangan di dunia Barat maupun masyarakat non muslim yang ada di Indonesia telah menempatkan Islam sebagai ancaman. Dampak dari stereotype tersebut tampak lebih kuat semenjak serangan teroris terhadap WTC dan Legian Bali yang di back up oleh media massa sehingga banyak negara dan kelompok masyarakat Islam menjadi target dalam perang melawan terorisme.
Identifikasi hubungan antara media massa dan terorisme merujuk dari berbagai peristiwa yang diliput oleh media massa yang terjadi di Indonesia, baik yang terkait dengan terorisme skala internasional (misalnya, peristiwa 11 September), skala Nasional (bom Bali) dan skala lokal (bom Makassar dan bom Palu), maka hubungan tersebut adalah bagian dari media oriented stategy yaitu bahwa tindakan para pelaku terorisme merupakan hasil perhitungan matang mengenai perilaku media massa. Para pelaku teroris telah merancang secara cermat dan aktivitas mereka diprogram agar mengandung karakteristik yang memang sesuai dengan beragam media. Sedangkan pada tingkat taktik mereka bermain-main dengan kebingungan dikalangan masyarakat dan pemerintah.
Berbagai tuduhan, tudingan, fitnah maupun spekulasi yang sering bersifat prematur, yang kadangkala sulit dipertanggungjawabkan kebenaran, keabsahan dan validitasnya baik yang dikembangkan oleh Amerika Serikat maupun yang berkembang di Indonesia mengarah atau identik pada gerakan Islam radikal atau gerakan Islam fundamentalis (Islam garis keras).
Hal tersebut dapat terlihat pada penangkapan sejumlah tokoh pergerakan Islam, seperti Ja’far Umar Thalib, Habib Rizqie, Ust. Abu Bakar Ba’asyir, Ashar Daeng Salam, Muhtar Dg Lau, Agung Hamid dan para aktivis Islam lainnya serta vonis atas berbagai gerakan Islam seperti Jamaah Islamiah dan beberapa gerakan Islam lainnya yang dianggap memiliki jaringan terorisme, merupakan kemasan berita yang bernuansa terorisme dan identik dengan gerakan organisasi Islam.
Fenomena pemberitaan media massa tentang terorisme dan keterkaitannya dengan khalayak yang ada dalam gerakan organisasi Islam merupakan persoalan sosial keagamaan yang melibatkan peran media massa dan persoalan tersebut memerlukan analisis mendalam dan pemikiran kritis sehingga fitnah, tudingan dan spekulasi prematur dapat terhindarkan dan harmonitas serta pluralisme tetap terjaga dengan baik.
Pergerakan Islam Di Indonesia

Kelahiran organisasi-organisasi Islam serta perkembangannya dewasa ini akan lebih mudah dipahami bila ditempatkan pada periodeisasi sejarah umat Islam di Indonesia. Dalam hal ini penulis mengutip periodeisasi sejarah umat yang pernah dibuat oleh Kuntowijoyo dalam buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba berjudul Islam Orde Baru (1993:282) yaitu sebagai berikut :
1. Pada Periode Mitos
Pada periode ini umat Islam memiliki kepercayaan yang bersifat mistis religius, sehingga dasar pengetahuan waktu itu tertuju pada kepercayaan terhadap ratu adil yang diyakini dapat membebaskan umat dari penderitaan akibat penjajahan dan kemiskinan.
Periode ini diperkirakan berlangsung hingga tahun 1900 yang banyak diwarnai oleh radikalisme seperti perang Diponegoro (1825-1830), pemberontakan Banten pada tahun 1888 dan perang Aceh pada tahun 1873. Isu yang diangkat atau dikumandangkan adalah jihad fi sabilillah (berjuang di jalan allah) melawan orang-orang kafir.
2. Pada Periode Ideologi
Pada periode ini pengetahuan Islam dipahami sebagai formulasi normatif kemudian berkembang menjadi ideologi yang melahirkan action. Periode ini berlangsung kira-kira tahun 1965. Isu penting yang diangkat adalah membentuk baldatun tayyibatun waa rabbun ghafur (Negara sejahtera yang diridhahi oleh allah SWT). Pada masa inilah yang disebut sebagai periode lahirnya gerakan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.
3. Pada Periode Ide atau Ilmu
Pada periode ini, Islam dimunculkan sebagai formulasi teoritis yang memiliki program dan perencanaan, kemudian dilanjutkan dalam kegiatan nyata. Pada periode ini yang diperjuangkan bukan lagi Negara ideal tetapi sistem yang rasional. Perjuanganpun diperluas keberbagai bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dalam setiap periode perkembangan gerakan Islam yang ada di Indonesia, seringkali gerakan perkembangan Islam tersebut dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Fenomena tersebut terlihat pada masa pemerintahan Soeharto atau rezim Orde Baru. Kondisi ummat Islam dibatasi ruang geraknya agar tidak menjadi identitas gerakan politik. Agama dianggap oleh penguasa sebagai ancaman politik yang harus dijinakkan, dan kalau perlu di pinggirkan. Elit politik atau massa yang menggunakan simbol agama untuk melawan hegemoni Negara selalu dituding sebagai ekstrim kanan, banyak aktivis Islam yang masuk penjara, kegiatan organisasi sosial keagamaan selalu diawasi, dan sepak terjangnya selalu di intervensi. Para elit politik tersebut mengalami alienasi politik.
Jatuhnya rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, yang diikuti oleh krisis politik dan ekonomi tidak diragukan lagi sebagai stimulus yang besar bagi gerakan radikalisme Islam yang baru memproklamirkan keberadaan mereka secara umum dan meciptakan dasar baru diantara gerakan Islam di Indonesia serta menyebarluaskannya diantara kaum muslimin. Beberapa kelompok baru yang menonjol adalah Laskar Jihad, Front Pembela Islam dan Angkatan Mujahidin Indonesia (Meuleman, 2001:47).
Dalam setiap gerakan organisasi Islam tentunya memiliki ideologi tersendiri. Ideologi menurut Edwar Shils yang dikutip dalam Rais (1999:188) dipahami sebagai produk dan usaha manusia untuk menciptakan suatu tata intelektual tentang dunia dan sebagai suatu intensifikasi kebutuhan manusia akan peta kognitif dan moral yang harus dicapai dan lahir dalam kondisi krisis diberbagai sektor masyarakat yang tidak dapat menerima pandangan hidup yang sedang berlaku.
Peralihan kekuasaan yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya era reformasi dalam konteks demokrasi telah membuka ruang yang sangat lebar bagi ummat Islam untuk dijadikan sebagai identitas politik yang telah melahirkan beragam pola strategi perjuangan diantaranya adalah Islamisasi masyarakat melalui jalur kekuasaan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pola strategi tersebut cenderung menuntut jatah terlebih dahulu dalam kekuasaan sebagai cermin representasi dari sebuah negara demokrasi. Pola strategi lain adalah Islamisasi sebagai bagian dari proses pembangunan politik bangsa. Pola strategi ini cenderung menetapkan perjuangan ummat Islam sebagai bagian dari perjuangan untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih demokratis (Afandi, 1997:9).
Suatu hal yang sulit dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan adalah ketegangan-ketegangan dan bahkan konflik yang muncul mengiringi perkembangan pemikiran itu. Di satu pihak ketegangan itu muncul oleh suatu keharusan mempertahankan segi doktrinal norma agama dalam situasi dunia yang selalu berubah, sementara dipihak lain ketegangan lahir oleh proses sosiologis.
Di Indonesia ketegangan itu terlihat dari polarisasi yang dikedepankan oleh tiga kaum yang memiliki basis massa yang cukup kuat (Aziz,1999:6) yaitu :
Pertama, Tradisionalisme Islam yang tumbuh subur sejak awal masuknya Islam ke Indonesia. Kaum tradisionalisme Islam memiliki pemikiran keIslaman yang masih terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama fiqhi, hadits, tasauf, tafsir dan tauhid yang hidup antara abad ketujuh hingga abad ketiga belas.
Kedua, kaum modernis yang umumnya memiliki basis di perkotaan, dimana masyarakat cenderung lebih terbuka dan menerima gagasan-gagasan baru. Visi dasar kaum modernis adalah usaha pemurnian Islam dengan memberantas segala yang berbau khurafat dan bid’ah, melepaskan diri dari ikatan mazhab dan membuka kembali pintu ijtihad.
Ketiga, adalah kaum fundamentalis yang memiliki basis kelompok menengah perkotaan dan umumnya mereka terdidik secara formal. Fundamentalis adalah kaum yang tidak puas atas modernisasi yang dirasakan dapat menggeser nilai-nilai agama dan pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat. Kaum fundamentalis menawarkan konsep Islam secara kaffah yaitu ide Islam menyeluruh (totalistik) yang bersifat langgeng dan komplit yang meliputi seluruh bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta melingkupi segi kehidupan individu maupun kolektif.
Kategorisasi fundamentalisme menurut Martin E. Marty yang dikutip dari situs (http://www.geocities.com/HatSprings/6774/p-8.html) adalah :
1. Fundamentalisme bersifat oppositionalism (paham perlawanan), yaitu gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekularisme maupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama.
2. Fundamentalisme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya.
3. Fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru.
4. Fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Dari berbagai peta pemikiran umat Islam inilah memunculkan berbagai gerakan Islam yang terorganisir secara organisatoris seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, KPPSI, Fron Pembela Islam, Laskar Jihad dan berbagi gerakan organisasi Islam lainnya sebagai wadah bagi umat Islam dalam meningkatkan sumber daya umat dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatn kualitas iman dan taqwa.
Islam dan Terorisme

Pengaruh stereotype sebagian masyarakat dan pengamat barat tentang Islam telah berimplikasi jauh terhadap arah dan sasaran kebijakan kampanye perang melawan terorisme. Kecurigaan Barat terhadap fenomena fundamentalisme dan radikalisme Islam sebagai pendukung dan pelaku tindak terorisme telah menyebabkan perang terhadap terorisme terdistorsi menjadi perang melawan aktivis politik Islam maupun gerakan-gerakan organisasi Islam.
Munculnya kelompok-kelompok radikal dari masyarakat sipil yang menggunakan cara-cara kekerasan atau teror di dalam memperjuangkan tujuan politiknya sering dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan negara. Dominannya negara baik dengan kekerasan atau tidak terhadap masyarakat sipil Islam dalam hal ini gerakan-gerakan politik Islam sering menimbulkan frustasi dan mendorong mereka mengubah jalan dari cara non kekerasan ke jalan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya.
Hal ini bisa terlihat pada fenomena antara terorisme Israel versus terorisme Arab. Terkait antara terorisme Arab versus terorisme Israel terdapat tiga perbedaan pokok yaitu pertama, terorisme Israel adalah resmi didukung oleh organisasi yang bernama Negara dengan perlengkapan yang canggih sedangkan terorisme arab bersifat sporadic, tidak sistimatis, dan tidak didukung oleh persenjataan yang canggih. Kedua, yang dilakukan Israel adalah terorisme sang penindas (terrorism of the oppressor), sedangkan teror balasan Arab hanyalah terorisme sang tertindas (terrorism of the oppressed), yang menggugat ketidakadilan dan kezaliman. Ketiga, pers barat yang mendominasi pers internasional, cenderung memperkecil setiap terorisme resmi Israel, dan sebaliknya membesar-besarkan setiap teror yang dilakukan pihak Arab (Rais, 1999:221).
Memahami Islam secara kaffah berarti memberikan kesempatan bagi setiap orang yang diperlakukan secara tidak manusiawi (zhalim) untuk mengadakan perlawanan demi membela diri. Bahkan, apabila yang bersangkutan mau membalas kejahatan orang itu pun agama membenarkannya. Asalkan setara dengan kejahatan yang diterimanya. Sesungguhnya membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama tidak dikenakan sanksi dosa, karena dosa itu hanya berlaku bagi orang-orang yang berbuat aniaya tanpa berpijak pada logika kebenaran (Hidayat, 2001:xvi).
Islam mengandung ajaran yang sangat komprehensif dan universal. Komprehensif dalam arti mengandung ajaran yang tidak hanya terbatas pada ajaran yang bersifat U’budiyah atau ritual semata, namun menjangkau aspek-aspek kehidupan yang bersifat sosial kemasyarakatan baik dibidang ekonomi, sosial budaya, politik dan kenegaraan.
Universalitas Islam adalah bahwa Islam tidak dibatasi oleh teritorial dan paham kebangsaan yang sempit. Islam memberikan pandangan bahwa bumi ini adalah milik Sang-Pencipta, sehingga dimanapun seorang muslim berada, mereka adalah saudara muslim lainnya yang dituntut untuk senantiasa menjalin harmonitas hubungan sebagai saudara atau dalam perspektif hubungan persaudaraan sesama muslim lebih dikenal dengan istilah Ukhuwah Islamiyah.
Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai suatu tujuan termasuk tujuan yang baik sekalipun. Salah satu kaidah Ushul dalam Islam menegaskan Al-qhayah La Tubarrir Al Wasilah bahwa tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara (Wahid, Sunardi, dan sidik, 2004:42), sehingga bagaimanapun juga Islam tidak identik dengan terorisme, karena terorisme menggunakan segala cara untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu termasuk kepentingan politik.
Dengan demikian cara yang proporsional untuk menghindari kemungkinan adanya tindakan teror bagi umat Islam adalah dengan cara memperbaiki pemahaman, penghayatan dan implementasi keIslaman. Pemahaman yang sempit (eksklusif) dan dangkal harus diperluas dan diperdalam, pemahaman yang subjektif individual harus diobjektivikasi sehingga konstruktif secara sosial dan kultural. Gerakan pencerdasan lewat tafsir keagamaan yang inklusif dan esoterik harus sering digalakkan atau disosialisasikan, sehingga mewujudkan kecerdasan dalam menyikapi pluralisme sosial dan demokratisasi dalam bernegara.
Media Massa dan Terorisme
Aksi terorisme kontemporer sebenarnya telah muncul sejak akhir tahun 1960-an, ditandai dengan terjadi aksi pembajakan pesawat oleh Front Rakyat Pembebasan Palestina (PFLP). Sejak peristiwa tersebut, makin banyak studi dilakukan terhadap terorisme dan hubungannya dengan media, lebih tepatnya terorisme dalam liputan media massa.
Secara historis kata terorisme pertama kali dipopulerkan saat revolusi Prancis, dimana sistem atau rezim de la terreur pada 1793-1794 dimaknai secara positif sebagai cara memulihkan tatanan saat periode kekacauan dan pergolakan anarkis setelah peristiwa pemberontakan rakyat pada tahun 1789, sehingga rezim teror ketika itu adalah instrumen pemerintahan dari negara revolusioner. Pada pasca Perang Dunia II, terorisme dipakai untuk menyebut revolusi dengan kekerasan oleh kelompok nasionalis anti kolonialis di Asia, Afrika dan Timur Tengah selama kurun 1940-an dan 1950-an (Permadi, 2003 :4).
Kata teror berasal dari bahasa latin “ter’or.less” yang berarti rasa ketakutan (fright) atau rasa sangat takut (great fear). Terrorism berarti “policy of getting what one wants in politic by using murder etc” (Carver dkk, 1974). Dalam kamus Webster’s New School and Office Dictionary oleh Noah Webster, Fawcett Crest Book, disebutkan bahwa teror berarti Extreme fear (ketakutan yang amat sangat), one who excites extreme fear (seorang yang gelisah dalam ketakutan yang amat sangat), the ability to cause such fear (kemampuan menimbulkan ketakutan), atau pengertian tersebut dapat juga diartikan sebagai the systematic use of violence, as murder, by a party or faction to maintain power, promote, political, etc (http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/0000019.html).
Sebenarnya, hingga saat ini belum ada definisi terorisme yang diakui secara universal, termasuk PBB sendiri mengalami kesulitan untuk mendefinisikannya. Namun dengan demikian bukan berarti tidak bisa mengenali karakteristik dari terorisme. Terorisme dikenal sebagai bentuk kekerasan yang digolongkan kedalam “kekerasan politik” atau juga disebut “kekerasan sipil”. Kekerasan politik mencakup suatu spektrum yang sangat luas, mulai dari unjuk rasa atau protes dengan menggunakan kekerasan, pemberontakan spontan dan sporadis, pemberontakan berencana dan berlanjut, kudeta, insurjensi, sampai ke revolusi (Nainggolan, 2002:106).
Karakteristik tersebut sesuai dengan defenisi yang dikemukakan oleh Adams (1986:6) yaitu terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelopok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari korban-korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbuhkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada.
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang terorisme tersebut maka berikut ini dikemukakan beberapa definisi tentang terorisme yaitu :
1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerwadarmita (1976:1063) didefinisikan bahwa terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik.
2. Dirjen Perlindungan HAM Departemen Kehakiman dan HAM memberikan definisi bahwa terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial atau politik (Sulistyo, Achwan dan Soetrisno, 2002:3).
3. Dalam Pasal 1 Perpu No. 01 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme (sekarang sudah disahkan menjadi undang-undang No. 15 Tahun 2003) tentang pemberantasan tindak pidana terorisme disebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistimatis dengan maksud menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral peradaban, rahasia, Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional.
Di samping berbagai definisi yang telah dikemukakan tersebut, maka media juga mencoba membuat definisi yang berbeda ketika memberitakan tindakan terorisme. Definisi menurut media massa yang dikemukakan oleh Laquer (1987:2001) dapat disebutkan secara garis besar sebagai berikut :
1. Tindakan dan ancaman kekerasan, baik oleh individu ataupun kelompok, untuk merongrong kemapanan politik legal.
2. Penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dalam situasi dimana sarana-sarana propaganda dan penyampaian pendapat lainnya masih ada (dalam masyarakat demokratis)
3. Kekerasan bermotif politik yang dilakukan kelompok minoritas tanpa menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan kemungkinan jatuhnya korban tak bersalah.
4. Tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan politik dengan cara-cara illegal.
Dari definisi-definisi tersebut diatas, maka ada tiga unsur utama dalam memaknai terorisme yaitu pertama, penggunaan kekerasan secara sistimatik yang dilakukan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Kedua, memiliki tujuan-tujuan politik dan yang terakhir adalah niat menebarkan ketakutan pada masyarakat dalam memaksakan kehendak.
Menurut salah seorang pemerhati media dari program studi komunikasi massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yaitu Ibnu Hamad yang dikutip dalam Kompas (2003:9), bahwa media massa dalam memberitakan kejadian teroris kurang patut, khususnya ketika sejumlah stasiun televisi menayangkan secara telanjang dan mengeksploitasi gambar mengenaskan para korban bom di hotel Wj Marriot, Jakarta.
Institusi media hendaknya menyadari bahwa ketika fakta hendak disampaikan kepada publik, strategi pengemasan berita harus dilakukan dengan berpegang pada etika, juga estetika. Pengemasan berita secara telanjang tersebut dapat dikatakan turut mengeksploitasi rasa takut dan kengerian publik. Menurut Ibnu, yang terpenting dilakukan oleh jurnalis sebenarnya adalah bagaimana jurnalis melakukan investigasi, bukan malah melakukan eksploitasi gambar-gambar mengerikan para korban bom.
Dalam hal ini Weiviorla (1993:43-46) menjabarkan empat hubungan antara terorisme dan media yaitu :
1. Pure indifference, yaitu teroris tidak hendak menakut-nakuti kelompok populasi sasaran diluar korban-korban mereka ataupun tidak hendak merealisasikan kudeta propaganda melalui aksi terorisme mereka.
2. Relative indifference, yaitu kekerasan tidak semata-mata berorientasi pada media, tujuannya tidak untuk mempertontonkan aksi atau menarik perhatian media massa.
3. Media oriented strategy, yaitu tindakan terorisme merupakan hasil perhitungan matang mengenai perilaku media massa. Pada tingkat taktik mereka bermain-main dengan kebingungan dikalangan masyarakat atau pemerintah.
4. A total break with the broader community, yaitu jurnalis menjadi musuh teroris.
Ketika era dunia telah menjadi era media massa, tindakan para teroris seperti mendapat kendaraan yang tepat. Terlebih ketika sebuah teror memang merupakan pesan yang harus tersebar luas secara massif. Kendaraan yang paling mampu mendistribusikan pesan itu adalah media massa.
Penutup

Peristiwa-peristiwa terorisme senantiasa mengguncang kemanusiaan sepanjang masa. Insiden serangan World Trade Center pada tanggal 11 September 2001 bagaimanapun telah mengubah pandangan dunia terhadap kekerasan teroristik. Hal yang sangat disayangkan bahwa ternyata kekerasan terorisme menjadi legitimasi bagi Amerika Serikat (AS) untuk melakukan invasi ke berbagai negara muslim yang dituduh dan difitnah sebagai negara sarang teroris. Irak dan Afganistan adalah dua negara yang menjadi korban dari arogansi AS. Melalui pidato Presiden George W Bush sudah memproklamirkan demarkasi yang cukup tegas “Jika bangsa-bangsa tidak bergabung dengan AS dalam perang melawan terorisme, maka itu berarti melawan kami”.
Sangat ironis ketika tindak penanganan terhadap terorisme menyebabkan fitnah, tudingan dan tuduhan terhadap ideologi, keyakinan dan pemeluk suatu agama tertentu. Perlu penyelidikan yang mendalam dan prosedural yang benar sesuai hukum yang berlaku, barulah kemudian dilakukan eksekusi terhadap mereka yang telah divonis sebagai teroris. Sama halnya ketika media massa memberikan informasi kepada para khalayak, tentunya harus memenuhi standar dan kaidah jurnalistik yang telah ditetapkan sehingga masyarakat memperoleh informasi yang benar dan akurat. Pemikiran yang kritis dan analisis yang mendalam menjadi tolak ukur bagi terciptanya tatanan masyarakat yang memiliki toleransi terhadap pluralisme, menjunjung demokrasi dan menghargai setiap hak manusia atas kemanusiaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, James. 1986. The Financing of Terror: How The Groups That are Terrorizing The World Get The Money To do It. Simon and Schuster, New York.

Afandi, Arif. 1997. Islam Demokrasi Atas Bawah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

De Fleur, M.L. dan S. Ball Rokeach. 1975. Theories of Mass Communication. McKay Company, New York.

Hidayat, Komaruddin. 2001. Agama Di Tengah Kemelut. Mediacita, Jakarta.

Laquer, Walter. 1987. The Age of Terrorism. Little Brown, Boston.

Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yayasan Galang, Yogyakarta.

McQuail, Denis. 1987. Mass Communication Theory. Second Edition. Diterjemahkan oleh Agus Dharma dan Amiruddin Ram. Erlangga, Jakarta.

Meuleman, Johan. 2001. Islam In the Era Of Globalization : Muslim attitudes towards and identity. INIS, Jakarta.

Nainggolan, Poltak Partogi. 2002. Terorisme dan Tata Dunia Baru. Tiga Putra Utama, Jakarta

Nata, H. Abuddin. 2001. Peta Kerangka Pemikiran Islam Di Indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Permadi, Goenawan. 2003. Fantasi Terorisme. Masscom Media. Semarang

Pudjomartono, Susanto. 2003. Terorisme dan Media. Kompas, Jakarta.

Rais, Amin. 1999. Cakrawala Islam. Mizan. Bandung

Tebba, Sudirman. 1993. Islam Orde Baru. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Wahid, Sunardi, & Sidik. 2004. Kejahatan Terorisme perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Refika Aditama, Bandung

Wieviorke, Michel. 1993. The Making of Terrorism. The University of Chicago Press, London.
















Kamis, 04 September 2008

Pencerahan Menuju Tuhan (Kajian Filsafat Komunikasi Intrapersonal Dalam Islam)

PENCERAHAN MENUJU TUHAN
(Kajian Filsafat Komunikasi Intrapersonal Dalam Islam)
Oleh : Muhammad Khairil
ABSTRAK
Kajian Komunikasi intrapersonal dalam perspektif Islam merupakan introspeksi spiritual dalam proses pencerahan umat manusia mencari dan menemukan agama dan Tuhannya. Hikmah yang terpetik dari proses pencarian hakekat ketuhanan hingga menemukan jalan menuju Tuhan menurut para sufi tidak akan terlepas dari tiga proses utama yaitu pertama takhalli yaitu berjihad dan bermujahadah untuk mengosongkan jiwa dari segala sifat dan perbuatan yang tercela. Proses kedua adalah tahalli yaitu upaya pengisian dan penghiasan diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Proses yang ketiga dan terakhir adalah tajalli yaitu tidak lagi menjadikan amal sholeh sebagai tempat berpijak tetapi lebih banyak melakukan kontemplasi. Pada fase inilah tempatnya seorang ber-ittihad (menyatu) dengan Tuhan, ber-hulul (Tuhan menempati dan memilihnya) dan ber-wahdatul wujud (Kesatuan eksistensi Tuhan dengan hamba).
Kajian dalam tulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dan komparatif interpretatif terhadap perjalanan spiritual umat manusia khususnya umat Islam, hingga kegelisahan ruhaniah pada aspek ontologis, proses meniti jalan menuju pencerahan hakekat ketuhanan pada aspek epistimologis dan nilai aksiologis terbangun dari pancaran kasih sayang Tuhan melalui hamba-hamba-Nya yang senantiasa melakukan mujahadah (Kesungguhan) menuju Insan Kamil. Nama Tuhan yang kekal dan abadi di dalam lubuk jiwa manusia memang lebih mengesankan daripada bumi dengan segala isinya. Kehadiran Tuhan menyertai manusia dalam segala tindakan, bukan dimaksudkan sebagai alat untuk melemparkan kesalahan dan menghindari tanggung jawab, melainkan sebagai doa dan pengharapan yang tulus agar sang hamba selalu terdorong untuk berbuat kebaikan dan terlepas dari jeratan hawa nafsu yang acapkali menguasai nurani ummat manusia.
Kata Kunci : Filsafat, Intrapersonal dan Tuhan

A. Pendahuluan.
We cannot not communicate!” diungkap oleh Watzlawick, Beavin dan Jackson. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi sosia, dan mengembangkan kepribadiannya. Kegagalan dalam berkomunikasi akan berakibat fatal baik secara individul maupun sosial. Secara individual, kegagalan komunikasi menimbulkan frustasi, demoralisasi, alienasi, dan penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Secara sosial, kegagalan komunikasi dapat menghambat saling pengertian, kerja sama, toleransi dan merintangi pelaksanaan norma-norma sosial.
Nilai sosial yang dibangun melalui proses komunikasi diungkap dalam sistem komunikasi interpersonal, sistem komunikasi kelompok hingga sistem komunikasi massa. Secara individual proses komunikasi diungkap dalam sistem komunikasi intrapersonal yaitu proses penerimaan informasi, mengolah, menyimpan dan menghasilkannya kembali.
Terkait dengan proses komunikasi intrapersonal ini, diungkap lebih mendetail oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya psikologi komunikasi bahwa sistem komunikasi intrapersonal meliputi empat aspek yaitu sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli melalui indrawi manusia. Persepsi ialah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru (persepsi mengubah sensasi menjadi informasi). Memori adalah proses menyimpan informasi dan menghasilkannya kembali. Berpikir adalah mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respon (Rakhmat, 2000).
Ketika proses komunikasi intrapersonal dikaitkan dalam nuansa spiritual khususnya perspektif Islam maka akan menjadi kajian introspektif dalam proses pencerahan umat manusia mencari dan menemukan agama dan Tuhannya. Hal ini bisa terlihat ketika Nabiullah Ibrahim dalam kegelisahan jiwanya mencari pencerahan tentang hakekat ketuhanan yang sesungguhnya. Disaat malam telah menjadi gelap, Ia melihat bintang, lalu Ia berkata “inilah tuhanku”. Namun, tatkala bintang itu tenggelam, Ia berkata “saya tidak suka pada yang tenggelam”. Kemudian, tatkala Ia melihat bulan muncul, Ia berkata “inilah tuhanku”. Namun, setelah cahaya bulan menghilan, Ia berkata “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.
Kegelisahan jiwa Nabiullah Ibrahim terus berlanjut hingga Ia melihat matahari terbit, Ia berkata “inilah tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari terbenam, Ia berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” (Dahlan, 2003).
Kisah yang berbeda namun memiliki substansi yang sama dialami oleh Rasulullah S.A.W. ketika proses pencerahan mencari hingga akhirnya menemukan hakekat ketuhanan yang sesungguhnya. Diungkap dalam buku Sejarah Tuhan (Armstrong, 2001) bahwa Rasulullah S.A.W. melakukan penyendirian spiritual selama bulan suci Ramadhan hingga pada malam ketujuh belas.
Ia dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap oleh kehadiran Ilahiah yang maha dahsyat. Ia bercerita bahwa satu malaikat menampakkan diri kepadanya dan memberinya sebuah perintah singkat “bacalah” (iqra’!), Rasulullah menolak dan memprotes, “aku bukan seorang pembaca!”. Malaikat itu mendekapnya, hingga Ia merasa seolah-olah nafasnya akan meninggalkan tubuhnya. Pada saat Rasulullah merasa seakan tak mampu lagi bertahan, Malaikat itu melepaskannya dan kembali memerintahkan, “bacalah!” (Iqra’!). Rasulullah lagi-lagi menolak dan malaikat itupun mendekapnya lagi hingga Ia merasa telah mencapai batas daya tahannya. Akhirnya, diakhir dekapan dahsyat yang ketiga, Rasulullah merasakan kata-kata pertama dari sebuah kitab suci baru mengalir keluar dari mulutnya :
Bacalah dengan nama Tuhanmu, Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah! Bacalah, dan Tuhanmulah Yang maha Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Pencarian dan penemuan hakekat ketuhanan sesungguhnya adalah proses pencerahan manusia menuju Tuhannya. Al-Hallaj, seorang sufi besar yang pernah dimiliki oleh dunia Islam, akhirnya dihukum pancung oleh algojo Abul Haris atas perintah Khalifah Bani Abbasiyah karena telah dituduh kafir atas pendapatnya, “Ana Al-Haq” (aku adalah kebenaran) atau “Ana Al-lah” (Aku adalah Allah). Ucapan kesufiannya inilah yang menghadapkan Al-Hallaj ke tiang gantungan.
Kasus Al-Hallaj menggores kepedihan mendalam pada nurani sejarah. Kematiannya memercikkan sentimen publik tentang perebutan makna dan hak istimewa “atas nama Tuhan” untuk mematikan perbedaan pendapat dikalangan masyarakat. Seolah menjadi penguasa, lantas dengan sendirinya memiliki hak istimewa dari Tuhan untuk menuntun, mengatur dan menentukan jalan hidup orang lain.
Salah satu wasiat sufi Ayatullah Khomeni kepada putranya bahwa “Anakku, jika engkau bukan seorang pengembara di dunia ruhani, setidaknya berupayalah untuk tidak menyangkal maqam-maqam keruhanian karena salah satu dari tipuan terbesar setan dari diri badani, yang menghalangi manusia dari meraih berbagai maqam kemanusiaan dan keruhanian adalah mendorong-dorong manusia untuk menyangkal atau bahkan melecehkan perjalanan ruhaniah menuju Allah” (Yamin, 2002).
Kajian dalam tulisan ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dan komparatif interpretatif terhadap perjalanan spiritual umat manusia khususnya umat Islam, hingga kegelisahan ruhaniah pada aspek ontologis, proses meniti jalan menuju pencerahan hakekat ketuhanan pada aspek epistimologis dan nilai aksiologis terbangun dari pancaran kasih sayang Tuhan melalui hamba-hamba-Nya yang senantiasa melakukan mujahadah (Kesungguhan) menuju Insan Kamil.

B. Atas Nama Agama dan Tuhan
Dalam sejarah Kristiani, para teolog kristen dan bapak-bapak gereja di Barat pernah memperoleh serangan yang amat keras dari para filosof dan Ilmuan ketika mereka mengatakan bahwa agama telah usang dan telah kehilangan kredibilitasnya untuk menyelenggarakan kehidupan yang berkeadaban, damai dan mampu melindungi hak-hak asasi manusia. Puncak perlawanan dan pengingkaran peran sosial agama ini secara lantang diproklamasikan oleh Friendrich Wilhelm Nietzche dengan diktumnya “Tuhan telah mati”. Pandangan Nietzche itu kemudian memperoleh dukungan dari para ilmuan ternama lain, seperti Sigmund Freud, Karl Marx dan sederetan nama lain yang pada dasarnya berpendapat bahwa ajaran agama tak lebih sebagai sebuah ilusi dan hiburan sesaat untuk lari dari derita hidup dan sama sekali bukan penyelesaian problem hidup itu sendiri.
Agama sering diposisikan sebagai objek kajian metafisis yang hasil dan tingkat kebenarannya dianggap spekulatif, namun secara sosial kenyataannya dampak kehadiran agama merupakan sumber peradaban yang cukup besar dalam sejarah kemanusiaan, namun agama juga merupakan sumber konflik sosial yang amat kejam dan berkepanjangan.
Bagi para penguasa yang tiran, konsep keyakinan untuk memperoleh keselamatan eskatologis (ukhrawi) sering dimanfaatkan sebagai peluang untuk menindas rakyatnya atas nama agama. Pada zaman Orde Baru, agama dibatasi ruang geraknya agar tidak menjadi identitas politik atau tujuan politik. Agama dianggap oleh penguasa sebagai ancaman yang harus dijinakkan dan kalau perlu dipinggirkan. Elit politik atau massa yang menggunakan simbol agama untuk melawan hegemoni negara selalu dituding sebagai ekstrim kanan, seperti juga penggunaan ideologi komunis atau sosialis untuk tujuan yang sama dituding sebagai ekstrim kiri.
Berbagai konflik sosial bernuansa agama baik antar sesama pemeluk ajaran satu agama maupun yang berbeda keyakinan seringkali mewarnai kehidupan setiap insan beragama. Manusia saling menyalahkan satu sama lain, klaim kebenaran sebagai kebenaran mutlak, hakim menghakimi hingga saling membunuh satu sama lain atas nama agama. Akar persoalan yang sesungguhnya adalah hanya karena keberagamaan yang bersifat subjektif, menonjolkan nilai-nilai egoisme dan arogansi, sehingga perspektif nilai kebenaran dalam beragama hanya dipandang dari satu sudut pandang.
Di Maluku dan di Poso, masyarakatnya sibuk saling membunuh atas nama Tuhan mereka masing-masing. Di Jakarta maupun di kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia, pencopet, penodong maupun maling ayam dibakar hidup-hidup oleh massa yang marah, disamping karena alasan keamanan publik juga karena atas nama Tuhan yang melarang melakukan perbuatan yang merugikan orang banyak. Ironisnya, ketika berbagai persoalan sosial keagamaan muncul bukan untuk menjadikan Tuhan sebagai “sebab” dan “tujuan” segala permohonan dan pengabdian melainkan Tuhan dipinjamkan nama-Nya, guna dimanfaatkan sebagai alat, sebagai instumen politik untuk membenarkan berbagai tindakan yang justru melawan kehendak Tuhan itu sendiri.
Perbincangan tentang agama seringkali berakhir dengan perbedaan yang meruncing hanya karena masing-masing memandang agama dari dimensi-dimensi yang berbeda. Sebagai contoh, ketika satu pihak memandang bahwa kesadaran agama sedang bangkit, karena melihat pengunjung mesjid yang sedang melimpah dan peringatan keagamaan yang meriah. Pihak yang lain menunjukkan mundurnya perasaan beragama dengan meningkatnya tindakan kriminal, perilaku anti sosial dan kemerosotan moral. Kedua pihak tidak akan bertemu, sebelum ditunjukkan pada mereka bahwa nilai agama yang mereka bicarakan adalah tidak sama. Pihak pertama membicarakan dalam dimensi ritual dan pihak kedua dalam dimensi sosial.
Sesungguhnya moralitas agama yang paling mengesankan dalam kehidupan manusia adalah menolak kejahatan dengan kebaikan. Etika ketuhanan yang selalu tulus memberikan “air susu” disaat orang suka melempar “air tuba”. Kendati setiap hari orang beragama disakiti, tetapi ajaran agamanya memintanya untuk bersabar dan kalau perlu memaafkan. Dengan keyakinan bahwa sikap sabar dan memaafkan itu justru akan mendekatkan dirinya dengan cinta kasih Tuhan dan menjauhkan musuhnya dari kasih sayang-Nya.
Ajaran Islam memberikan kesempatan bagi setiap orang yang diperlakukan secara tidak manusiawi (zhalim) untuk mengadakan perlawanan demi membela diri. Bahkan, apabila yang bersangkutan mau membalas kejahatan orang itu pun agama membenarkannya, asalkan setara dengan kejahatan yang diterimanya. Membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama, tidak dikenakan sanksi dosa, karena dosa itu hanya berlaku bagi orang-orang yang berbuat aniaya (zhalim) tanpa berpijak pada logika kebenaran.
Dalam pandangan Islam, benih agama muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan dan kebaikan (Shihab, 1993). Manusia pertama yang diperintahkan oleh Allah untuk turun ke bumi, diberi pesan agar mengikuti petunjuknya, jika petunjuk tersebut sampai kepadanya (Q.S. 2: 28). Petunjuk pertama yang melahirkan agama adalah ketika Adam dalam perjalanannya di bumi ini menemukan kebenaran, keindahan dan kebaikan.
Keindahan yang ditemukan adalah terkait dengan alam raya, bintang yang gemerlap, kembang yang mekar dan berbagai fenomena alam lainnya. Nilai kebaikan ditemukan pada angin sepoi yang menyegarkan di saat Ia merasa gerah kepanasan atau pada air yang sejuk dikala Ia sedang haus. Ditemukannya nilai kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam raya dan di dalam dirinya sendiri.
Gabungan ketiga hal itu melahirkan kesucian. Manusia yang memiliki naluri ingin tahu, berusaha untuk mendapatkan apakah yang paling indah, benar dan baik ? Jiwa dan akalnya mengantarkannya bertenmu dengan yang Maha Suci dan ketika itu Ia berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan berusaha mencontoh sifat-sifat-Nya. Dari sinilah agama lahir, bahkan dari sini pula dilukiskan proses beragama sebagai upaya manusia mencontoh sifat-sifat yang Maha Suci.
Nama Tuhan yang kekal dan abadi di dalam lubuk jiwa manusia memang lebih mengesankan daripada bumi dengan segala isinya. Kehadiran Tuhan menyertai manusia dalam segala tindakan, bukan dimaksudkan sebagai alat untuk melemparkan kesalahan dan menghindari tanggung jawab, melainkan sebagai doa dan pengharapan yang tulus agar sang hamba selalu terdorong untuk berbuat kebaikan dan terlepas dari jeratan hawa nafsu yang acapkali menguasai nurani ummat manusia.
C. Jalan Menuju Tuhan
Bagi Albert Einstein, tidak terbayangkan olehnya ada para ilmuan yang tidak punya keimanan mendalam. Makin jauh kita masuk pada rahasia alam, makin besar kekaguman dan penghormatan kita pada Tuhan. Ketika Einstein ditanya apakah Ia percaya kepada Tuhannya Spinoza, filosof Yahudi dari Belanda, Ia berkata :
Aku tak bisa menjawabnya dengan sederhana; ya atau tidak. Aku bukan ateis dan aku tidak juga dapat menyebut diriku panteis. Kita ini mirip seorang anak yang masuk kesebuah perpustakaan besar, penuh dengan buku dalam berbagai bahasa. Anak itu tahu bahwa pasti ada orang yang telah menulis buku-buku itu. Secara samar-samar, si anak menduga adanya keteraturan misterius dalam penyusunan buku-buku itu, tetapi Ia tak tahu bagaimana. Bagiku, itulah sikap yang sesungguhnya dari bahkan orang yang paling cerdas sekalipun terhadap Tuhan. Kita melihat alam semesta disusun dengan sangat menakjubkan dan mematuhi hukum-hukum tertentu. Tetapi, kita kita hanya memahami hukum-hukum itu secara samar-samar saja. Pikiran kita yang terbatas tak dapat menangkap kekuatan misterius yang menggerakkan semesta. Aku terpesona dengan panteisme spinoza, tetapi aku jauh lebih mengagumi lagi sumbangannya bagi pemikiran modern karena dialah filosof pertama yang memperlakukan jiwa dan badan sebagai satu kesatuan, bukan dua hal yang berbeda (Rakhmat, 2004).
Ketakjubannya pada penemuan sains membawa Einstin kepada Tuhan. Jika pandangan agamanya mempengaruhi pemikiran ilmiahnya, pada gilirannya pemikiran ilmiahnya mewarnai pandangan agamanya. Dalam pandangan Einstin, salah satu intekasi antara agama dan ilmu pengetahuan adalah agama menyumbangkan ajarannya pada ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan menghadiahkan penemuannya pada agama.
Meminjam metafora Einstin, maka sesungguhnya antara Agama dan Ilmu pengetahuan ibarat si buta dan si lumpuh. Ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama, akan terpaku pada tempat duduknya. Ia hanya mampu melihat apa yang berada disekitarnya. Suapaya bisa berjalan, ilmu pengetahuan harus meminta bantuan agama. Agama membawa ilmu pengetahuan pada dunia yang lebih luas, dunia yang jauh diluar batas-batas empiris.
Dalam pandangan Muthahhari, bahwa sesungguhnya sejarah telah membuktikan pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Keimanan mesti dikenali lewat sains. Keimanan bisa tetap aman dari berbagai takhyul melalui pencerahan sains. Keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu, agama, dalam diri penganutnya yang naif akan menjadi suatu intstrumen ditangan-tangan para dukun cerdik (Muthahhari, 1994).
Bagaimanapun bentuk penolakan Nietzche, Freud dan Karl Marx terhadap nilai-nilai agama dan proses penerimaan Einstin tentang hakekat ketuhanan, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses pencerahan manusia menuju tuhan-Nya namun juga sebaliknya, ilmu pengetahuan bisa menyesatkan manusia dari jalan-Nya. Menurut Ayatullah Khomaeini (Yamin, 2002) bahwa, Kaum filosof telah membuktikan Kemahahadiran Tuhan dengan argumen-argumen rasional. Akan tetapi selama apa saja yang telah dibuktikan oleh akal dan argumen tidak mencapai hati, maka akal itu tidak memiliki kepercayaan kepadanya.
Diungkapkan lebih lanjut oleh Khomaeini bahwa para nabi dan para wali yang ikhlas, tidak pernah menggunakan bahasa dan argumen filosofis dalam dakwah mereka, tetapi mengimbau kepada jiwa dan hati orang-orang tersebut. Jiwa dalam pandangan Plato adalah self initiating motion atau source of motion (F. Copleston, 1945). Dengan demikian orang-orang yang mereka asuh adalah pecinta-pecinta yang setia dengan sepenuh hati. Sedangkan para filosof dan murid-muridnya lebih menyukai argumen dan diskusi dan lalai dari mengurus dengan baik hati dan jiwa mereka.
Hikmah yang terpetik dari proses pencarian hakekat ketuhanan hingga menemukan jalan menuju Tuhan menurut para sufi tidak akan terlepas dari tiga proses utama yaitu pertama takhalli yaitu berjihad dan bermujahadah untuk mengosongkan jiwa dari segala sifat dan perbuatan yang tercela. Unsur “keterpaksaan” dalam proses ini, menempatkan amaliah seseorang dalam bingkai ketaatan yang senantiasa disandarkan atas negosiasi pahala dan dosa. Pada tahap ini seseorang menyesali segala perbuatan dosa yang telah dilakukannya, kemudian membuka sejarah lembaran baru dengan menghiasi diri dengan amalan sholeh.
Proses kedua adalah tahalli yaitu upaya pengisian dan penghiasan diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Dalam hal ini seorang hamba tidak lagi tergantung pada negosiasi surga neraka, melainkan hanya ingin dekat dengan Dzat yang dikasihi dan dirindukan. Proses yang ketiga dan terakhir adalah tajalli yaitu tidak lagi menjadikan amal sholeh sebagai tempat berpijak tetapi lebih banyak melakukan kontemplasi. Pada fase inilah tempatnya seorang ber-ittihad (menyatu) dengan Tuhan, ber-hulul (Tuhan menempati dan memilihnya) dan ber-wahdatul wujud (Kesatuan eksistensi Tuhan dengan hamba).

D. Hidup Yang Tercerahkan

Falsafah Man Arafa Nafsa Fa Arafah Rabbah (Manusia yang mengenal hakekat dirinya, akan mengenal hakekat Tuhannya) dan ungkapan Socrates "Gnothi Seauthon" (kenalilah dirimu) menjadi bagian dari pengkajian dan perenungan diri umat manusia sepajang sejarah untuk dapat mengenal hakekat kehidupan, substansi kemanusiaan dan nilai Ilahiah. Pada akhirnya manusia mulai mengenal hidup, kemanusiaan dan Tuhannya. Proses inilah sebagai awal dari pencerahan hidup manusia atas kemanusiaannya dan manusia atas keyakinan dan agamanya.
Agama, dalam bentuk apapun dia muncul tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Peranan agama menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Manusia, tanpa agama tidak dapat hidup sempurna. Manusia sejatinya senantiasa mendambakan kebahagiaan hidup, bahkan keberlangsungan hidup itu sendiri ada di dalam kondisi bahagia. Dengan kata lain, hanya bahagialah yang memungkinkan seseorang dapat melanjutkan hidupnya, bahkan tujuan hidup itu sendiri adalah kebahagiaan.
Orang yang mendapatkan dirinya menderita akan berusaha keluar dari penderitaan tersebut. Apabila Ia sakit, maka Ia akan mencari dokter atau rumah sakit yang bisa menyembuhkannya. Apabila Ia miskin maka Ia akan berusaha bekerja keras agar keluar dari jeratan kemiskinan. Semua itu merupakan respon eksistensial manusia bahwa mereka tidak bisa dan tidak tahan hidup dalam penderitaan. Untuk dapat keluar dari berbagai himpitan hidup dengan segala persoalannya maka agama adalah jalan keluar menemukan pencerahan hidup yang sesungguhnya.
Ilustrasi yang tepat untuk mendeskripsikan hal tersebut adalah apa yang pernah dialami oleh Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad al-Gazali. Ia tiba-tiba dilanda keresahan hingga Ia memutuskan meninggalkan karirnya yang cemerlang dan mencari hal yang didambakannya yaitu jawaban kepada guncangan batinnya. Ia jatuh sakit, mulutnya membisu, tetapi pikirannya terus bergejolak. Ia mengasingkan diri untuk menjawab pertanyaan besar yang sedang merisaukan hatinya yaitu cara apakah yang dapat ditempuh hingga sampai pada pengetahuan yang benar ?
Pertama, Al-Gazali menganggap bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh lewat pencerapan indera. Sehingga kebenaran adalah apa yang dapat dilihat, didengar atau diraba. Segera Ia menemukan bahwa persepsi indera juga tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Matanya melihat bahwa bayangan tongkat itu tidak bergerak padahal orang tahu bahwa bayangan itu bergerak perlahan sekali mengikuti bayangan matahari dan matahari kelihatan kecil padahal lewat perhitungan geometris matahari lebih besar dari pada bumi. Kekeliruan indera dibetulkan oleh akal.
Al-Gazali segerah mencurahkan perhatiannya pada akal namun dalam pergolakan batinnya, Ia dihujat oleh persepsi inderawi bahwa kalau tidak ada akal, anda akan selalu menganggap inderawi benar. Barangkali dibalik pemahaman akal, ada lagi hakim lain yang bila menampakkan dirinya dapat menunjukkan kesalahan akal dalam menetapkan keputusan.
Selama berbulan-bulan Al-Gazali merenungkan permasalahan yang dihadapinya dan pemecahannya tidak datang lewat berpikir dan merenung. Ia bercerita “penyelesaian masalahku tidaklah datang karena pembuktian yang sistimatis dan argumentasi yang dikemukakan, tetapi karena cahaya yang dimasukkan Allah Ta’ala kedalam dadaku. Cahaya itu merupakan kunci menuju bagian pengetahuan yang lebih besar. Cahaya itu sendiri bukanlah ungkapan kebenaran namun kebenaran harus dicari” (Otman, 1960).
Al-Gazali telah melewati perjalanan panjang spiritualnya melalui kekuatan persepsi inderawi dan menguras kekuatan intelektual namun berakhir dengan keputusasaan hingga sentuhan gaib Tuhan menyelamatkannya. Dorongan mendadak keimanan ini tampak olehnya berasal dari pencerahan Ilahi sebagai suatu cahaya pembawa harapan. Baginya, hal itu berarti bahwa Ilham dan wahyu adalah riil.
Perjalanan spiritual manusia dalam perspektif Islam sesungguhnya diawali dengan sebuah transaksi spiritual “Alastu Birabbikum” Apakah aku ini Tuhanmu ? “Qalu Bala Syahidna” Kami bersaksi Ya Allah, bahwa Engkaulah Tuhan Kami (Q.S. Al-A’raf 172). Dalam sejumlah hadits yang disandarkan pada Nabi saw, para sahabatnya dan mufassir Al-Qur’an awal memaknai ayat tersebut bahwa jauh sebelum manusia lahir, Allah S.W.T telah mengumpulkan seluruh keturunan Adam dalam bentuk partikel-partikel kecil (arwah) dan dalam keadaan semacam itu, mereka menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan, sehingga dengan pengakuan ini semestinya tidak ada alasan bagi manusia untuk mengingkari Tuhan, kapan dan dimanapun ia berada (Mulyadi, 2003)
Transaksi spiritual tersebut mengingatkan sepatutnyalah setiap Insan dengan nilai ruhaniahnya mawas diri terhadap tipuan jasad badani dan setan lahir maupun batin, yang sering menyesatkan orang atas nama Tuhan dan atas nama pengabdian kepada makhluk-makhluk-Nya, sambil menghalangi dan mendorong menuju nafsu-nafsu diri sendiri.
Untuk dapat memahami nilai-nilai agama maka Allah SWT memberikan manusia berbagai instrumen agar dapat senantiasa berada dalam bimbingan, lindungan dan ridha-Nya. Allah S.W.T menganugerahkan manusia indrawi sehingga nilai sensasi hidup dalam dirinya. Mata yang indah untuk menatap keindahan. Indra pendengaran untuk menikmati kicauan burung hingga azan berkumandang. Lisan, sebagai anugerah dalam penyampaian pesan nilai-nilai Ilahiah dan interaksi melalui proses komunikasi.
Allah S.W.T. juga menganugerahkan manusia akal pikiran dengan itu manusia mampu berpikir rasional dan mengembangkan logika berpikirnya. Fungsi berpikir sendiri terkait dengan dua aspek yang amat penting yaitu wissen dan verstehen. Wissen adalah proses dari tidak tahu menjadi tahu sedangkan verstehen adalah pengetahuan yang telah dimiliki dimenerti dan dipahami secara mendalam (Effendi, 2003).
Indrawi telah membantu manusia untuk dapat mengetahui berbagai hal dalam kehidupannya dan berpikir menjadi pijakan manusia dalam mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya, hingga Ia mampu membedakan baik dan buruk, perintah dan larangan, dosa dan pahala serta menjaga dirinya dari berbagai jeratan dan himpitan persoalan kehidupan duniawinya.
Hidup yang tercerahkan tidak semata-mata diperoleh hanya dengan optimalisasi indrawi dan proses berpikir, lebih dari itu pencerahan hidup juga dituntun oleh Intuisi/ilham dan Wahyu. Ituisi adalah petunjuk dan tuntunan Allah S.W.T bagi hamba-hamba yang senantiasa taat dengan keikhlasan ibadahnya dan wahyu adalah karunia Allah S.W.T yang akan membimbing, menuntun, mengarahkan manusia sehingga memperoleh ridha-Nya. Hal ini hanya diperoleh dengan melakukan mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam memenuhi kebutuhan al-takamul al-ruhani yaitu proses penyempurnaan nilai-nilai spiritual yang telah tertanam dalam diri setiap hamba melalui transaksi spiritualnya.

E. Penutup

Kajian filsafat dalam berbagai perspektif akan selalu terkait dengan nilai ontologis, epistimologis dan aksiologis. Nilai ontologis dibangun melalui asumsi metafisis spiritual yaitu substansi yang terkandung dibalik realitas yang ada dengan mengacu pada nilai-nilai kejiwaan (ruhaniah) yang dimiliki oleh manusia. Epistimologis berupa kemampuan metodologis dalam mencari dan menemukan nilai kebenaran. Aksiologis adalah bentuk implementatif dari nilai ontologis dan epistimologis yang telah dikaji oleh manusia yang berwujud fisis material.
Nilai ontologis dalam kajian Islam adalah proses pencerahan manusia untuk menemukan hakekat ketuhanan yang sesungguhnya seperti yang tercermin melalui kisah Nabiullah Ibrahim a.s. dan Rasulullah Muhammad S.A.W. Nilai Epistimologis tercermin dari proses berpikir hingga kontemplasi meniti jalan menuju sang Khalik. Aksiologis merupakan Ruh Ilahiyah (pancaran sinar Ilahi) yang terpancar melalui cinta kasih manusia terhadap sesamanya maupun cinta kasihnya dengan segala ciptaan yang diciptakan-Nya.
Daftar Pustaka
Armstong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Mizan. Bandung.
Copleston, Frederick. 1995. A History Of Philosophy. Search Press. London
Dahlan, Mahmudi Arif. Mutiara Kisah Pribadi Menawan Rasul, Sahabat, Ulama dan Hamba Shaleh. Pustaka Gorda. Ponorogo.
Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hidayat, Komaruddin. 2001. Agama Di Tengah Kemelut. Mediacita, Jakarta.
Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yayasan Galang, Yogyakarta.
Mulyadi, Arif. 2003. Tuhan Menurut Al-Qur’an. Al-Huda. Jakarta
Otman, Ali Issa. 1960. The Concept Of Man In Islam, In The Writing Of Al-Gazzali. Daar Al-Maareef. Cairo.
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
________________. 2003. Islam Aktual. Mizan Pustaka. Bandung.
­________________. 2004. Psikologi Agama. Mizan Pustaka. Bandung.
­­­________________. 2004. Meraih Kebahagiaan. Rekatama Media. Bandung
________________. 2004. Madrasah Ruhaniah. Muthahhari. Bandung
Shihab, Quraish. 1993. Membumikan Al-Quran. Mizan. Bandung.
Yamani. 2002. Wasiat Sufi Ayatullah Khomaeini. Mizan. Bandung.

Jumat, 22 Agustus 2008

Pluralisme, Toleransi dan Budaya Komunikasi Umat Beragama

Pluralisme, Toleransi dan Budaya Komunikasi Umat Beragama
Oleh : Muhammad Khairil
Abstrak
Suatu Bangsa, mempunyai Bahasa dan Negara (Tanah Air) yang sama. Hukum Ketata-negaraan serta segala aspek yang diberlakukan sesuai kesepakatan dari Bangsa itu. Suatu Bangsa juga memiliki Budaya yang sama, yang merupakan cerminan berbagai tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Akan tetapi, suatu Bangsa tidak harus memiliki satu Agama yang sama.
Semangat Pluralisme, toleransi dan budaya komunikasi dibangun berdasarkan kesadaran umat beragama. Setidaknya semangat tersebut dapat terbangun dengan satu slogan yang mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan. Perjuangan demi pluralisme erat kaitannya dengan perjuangan melawan budaya kekerasan.
Berbagai fenomena dan konflik keagamaan yang sering kali muncul di berbagai wilayah yang ada di Indonesia khususnya di Wilayah Sulawesi Tengah membutuhkan sebuah formulasi paradigma pemahaman yang mampu mentransformasi masyarakat pada tatanan pluralistik dan membuka keran toleransi sehingga melahirkan budaya komunikasi yang mengajak pada kebaikan dengan hikmah, mauizatil hasanah (nasehat yang baik) dan dengan proses dialogis yang santun (Wa Jadilhum Billati Hiya Ahsan).

Kata Kunci : Pluralisme, Toleransi dan Budaya Komunikasi
A. Pendahuluan
Manusia, siapa pun dia, pasti pernah disergap oleh pertanyaan-pertanyaan fundamental dalam sejarah hidupnya. Semisal, apa sebenarnya hakikat kehidupan dan kebenaran. Sekalipun kepenasaran bawaan semacam ini terkadang dilindas oleh kesibukan praktis sehari-hari, ia sesungguhnya tidak akan pernah padam sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan terus menuntut haknya yaitu jawaban yang benar. Nah, di sinilah asal mula agama dan sains berjumpa. Masing-masing mengklaim sebagai juru bicara kebenaran yang paling otoritatif.
Terhadap pertanyaan, ''bagaimana manusia pertama muncul'', misalnya, agama dan sains menawarkan jawaban yang sekurang-kurangnya tampak berbeda. Agama berbicara tentang Adam sebagai (hasil) ciptaan Tuhan, sementara sains berbicara tentang manusia sebagai produk evolusi. Orang bisa cepat-cepat menyimpulkan adanya hubungan konflik antara agama dan sains. Padahal, bukan tidak mungkin bisa diperoleh jawaban-jawaban yang sejalan dari kedua institusi ini. Lalu, bagaimana sebenarnya mendudukkan perkara ini dalam meja pemeriksaan kritis-argumentatif ?
Ian G. Barbour, seorang mahaguru di dua disiplin sekaligus yaitu fisika dan teologi, mencoba memetakan empat mazhab tentang hubungan sains dan agama yaitu Konflik, Independensi, Dialog dan Integrasi. Pemetaan demikian, meskipun selalu mengandung simplifikasi, terbukti cukup memadai untuk membaca lanskap isu, gagasan, usulan solusi yang terbentang dalam wacana seputar hubungan agama dan sains. Barbour kemudian menerapkan tipologi empat mazhab ini ke dalam disiplin-disiplin keilmuan yang sering memunculkan isu-isu krusial dalam konteks hubungan sains dan agama: evolusi, kosmologi, fisika kuantum, genetika dan neurosains (dikutip dalam Jalaluddin, 2004).
Wacana ini menjadi demikian penting mengingat agama dan sains merupakan dua di antara kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi nasib sejarah kemanusiaan, dulu, kini, dan masa depan. Sebab, seperti ditengarai oleh Whitehead, ''Tidakkah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan sejarah ditentukan oleh sikap generasi sekarang terhadap hubungan antara agama dan sains.''
Dalam sejarah Kristiani, para teolog kristen dan bapak-bapak gereja di Barat pernah memperoleh serangan yang amat keras dari para filosof dan Ilmuan ketika mereka mengatakan bahwa agama telah usang dan telah kehilangan kredibilitasnya untuk menyelenggarakan kehidupan yang berkeadaban, damai dan mampu melindungi hak-hak asasi manusia.
Puncak perlawanan dan pengingkaran peran sosial agama ini secara lantang diproklamasikan oleh Friendrich Wilhelm Nietzche dengan diktumnya “Tuhan telah mati”. Pandangan Nietzche itu kemudian memperoleh dukungan dari para ilmuan ternama lain, seperti Sigmund Freud, Karl Marx dan sederetan nama lain yang pada dasarnya berpendapat bahwa ajaran agama tak lebih sebagai sebuah ilusi dan hiburan sesaat untuk lari dari derita hidup dan sama sekali bukan penyelesaian problem hidup itu sendiri.
Agama sering diposisikan sebagai objek kajian metafisis yang hasil dan tingkat kebenarannya dianggap spekulatif, namun secara sosial kenyataannya dampak kehadiran agama merupakan sumber peradaban yang cukup besar dalam sejarah kemanusiaan, namun agama juga merupakan sumber konflik sosial yang amat kejam dan berkepanjangan.
Berbagai konflik sosial bernuansa agama baik antar sesama pemeluk ajaran satu agama maupun yang berbeda keyakinan seringkali mewarnai kehidupan setiap insan beragama. Manusia saling menyalahkan satu sama lain, klaim kebenaran sebagai kebenaran mutlak, hakim menghakimi hingga saling membunuh satu sama lain atas nama agama. Akar persoalan yang sesungguhnya adalah hanya karena keberagamaan yang bersifat subjektif, menonjolkan nilai-nilai egoisme dan arogansi, sehingga perspektif nilai kebenaran dalam beragama hanya dipandang dari satu sudut pandang.
Di Maluku, Ambon, dan di Poso, masyarakatnya sibuk saling membunuh atas nama Tuhan mereka masing-masing. Ironisnya, ketika berbagai persoalan sosial keagamaan muncul bukan untuk menjadikan Tuhan sebagai “sebab” dan “tujuan” segala permohonan dan pengabdian, melainkan Tuhan dipinjamkan nama-Nya, guna dimanfaatkan sebagai alat, sebagai instumen politik untuk membenarkan berbagai tindakan yang justru melawan kehendak Tuhan itu sendiri.
Perbincangan tentang agama seringkali berakhir dengan perbedaan yang meruncing hanya karena masing-masing memandang agama dari dimensi-dimensi yang berbeda. Disilah dibutuhkan semangat Pluralisme, toleransi dan budaya komunikasi yang dibangun berdasarkan kesadaran umat beragama. Setidaknya semangat tersebut dapat terbangun dengan satu slogan yang mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan. Perjuangan demi pluralisme erat kaitannya dengan perjuangan melawan budaya kekerasan.
B. Paradigma dan Wacana Pluralisme
Dewasa ini, agenda penting bagi masa depan bangsa masih sangat tergantung pada sejauh mana hubungan antar umat beragama tercipta di tengah pluralisme agama. Karena pluralisme agama itu sendiri masih merupakan tantangan khusus bagi agama-agama. Dari sinilah muncul arti pentingnya pencarian konvergensi agama-agama. Ada beberapa argument penting sebagai kerangka acuan pemikiran akan arti pentingnya pencarian konvergensi agama-agama yaitu :
Pertama, pluralisme agama secara praktis belum dipahami umat beragama. Sehingga, yang tampil ekspresif ke atas permukaan adalah sikap eksklusifisme beragama. Sikap ini merasa bahwa ajaran yang paling benar adalah abasah hanyalah agama yang dipeluknya. Sementara pada agama lain dianggap sebagai “yang salah” dan bahkan “sesat”. Maka, hukumnya menjadi wajib “diperangi” dan kalau perlu dikonversikan pada agamanya. Inilah akar konflik antar agama seringkali terjadi dan akhirnya merusak rajutan tata kerukunan umat beragama .
Bila ajaran Kristiani memandang kasih sebagai tonggak agamanya (Rachmat, 2004) maka dalam konsepsi Islam agama dipandang sebagai rahmat bagi kehidupan. Bahkan secara normatif, Islam mengakui hak dan keberadaan pengikut agama lain atau para ahli kitab. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah / 2 : 256 dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Pada surah lain Allah juga menegaskan bahwa “untukmu agamamu dan untukkulah agamaku (Q.S. 109:6). Pengakuan ini secara otomatis merupakan prinsip dasar doktrin Islam terhadap pluralisme agama dan sosial budaya sebagai kehendak Tuhan.
Kedua, di tengah kondisi pluralisme agama ini, banyak pemeluk agama tertentu yang berpaham eksklusif cendrung memonopoli klaim kebenaran agama (claim of truth) dan klaim keselamatan agama (claim of salvation). Padahal, secara sosiologis, menurut cendikiawan Budhy Munawar (dalam Kindi, 2001) bahwa klaim kebenaran agama dan keselamatan itu, disamping hanya akan memicu berbagai konflik sosial dan politik juga hanya akan memancing “perang suci antaragama”.
Jika pengertian negara sekuler dilawankan dengan negara agama, Indonesia bukan negara agama, melainkan negara sekuler. Dalam negara sekuler, negara tidak didasarkan pada suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun sering juga dikatakan Indonesia tidak sepenuhnya sekuler, karena dasar negara dalam konstitusinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi negara tidak punya tugas melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya. Sementara itu warga negara mempunyai kebebasan untuk menjalankan agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
Ketuhanan Yang Maha Esa berkedudukan sebagai sumber moral yang dijadikan pedoman bagi sikap dan perilaku warga. Sistem moral itu dapat digali dari ajaran-ajaran agama yang dipeluk masyarakat. Tapi ajaran-ajaran agama itu harus melalui proses rasionalisasi dan objektifikasi. “Tuhan” di sini adalah “Tuhan” lintas agama.
Dengan demikian, setiap agama punya peranan dalam membangun moral bangsa. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Di sini, berlaku asas pluralisme yang mengakui kebenaran eksklusif masing-masing agama, terutama dalam hal akidah (creed) dan peribadatan (cult). Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama diletakkan pada tingkat individu. Artinya, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Syariat Islam bisa dilaksanakan, tapi pada tingkat masyarakat, oleh para pemeluknya sendiri.
Inilah makna sekularisme yang sebagaimana dikatakan oleh Talcott Parson, mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan kekuasaan negara (kesatuan al din wa aldaulah). Hukum agama yaitu syariat tidak berkedudukan sebagai hukum positif, melainkan sebagai hukum volunter (voluntary law), meminjam istilah tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara.
Jika melihat pada sejarahnya, yaitu sejarah gereja Kristen, asal sekularisme lahir, maka liberalisme agama merupakan salah satu unsur sekularisme itu. Artinya, setiap individu dalam memeluk dan menjalankan agama, bebas dari otoritas keagamaan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam La rohbaniyah fi al Islam (tidak ada otoritas keagamaan dalam Islam). Sebab otoritas keagamaan selalu cenderung mengurangi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut keyakinan individu. Sementara itu, iman tidak bisa dipaksakan oleh otoritas apa pun. Inilah makna la ikraha fi al din (tidak ada paksaan dalam agama). Di sinilah asas liberalisme dan pluralisme bertemu dengan sekularisme, yang sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama, termasuk Islam.
Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip yang sangat penting dalam sekularisme dan harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu, prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan dalam keberagamaan. Maksud UU ini adalah, pertama agar bisa membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal akidah (dasar-dasar kepercayaan) dan ibadah maupun syariat agama (code) pada umumnya. Kedua, di lain pihak memberikan kesadaran kepada setiap warga negara akan hak-hak asasinya, dalam berpendapat, berkeyakinan, dan beragama. UU semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih detail.
Tentang hal tersebut, menurut Dawam Raharjo yang dikutip dalam situs http://www.mirifica.net/wmview.php bahwa kebebasan beragama setidaknya terkait dengan lima hal pokok yaitu :
Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Berpindah agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran baru dalam beragama. Berpindah agama juga tidak disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti mempunyai agama lain, melainkan karena menentang perintah Tuhan. Perpindahan agama harus dianggap peristiwa biasa dan sering disambut oleh kalangan agama yang baru dipeluk, sebagaimana tampak dalam penayangan orang-orang mualaf atau pemberian zakat kepada mualaf yang sering kali sebelumnya memeluk agama lain.
Ketiga, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, dengan 'membeli' keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu.
Penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan keselamatan secara langsung dari orang ke orang atau dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan tujuan proselitasi adalah tindakan yang tidak sopan dan sangat mengganggu, karena itu harus dilarang. Kegiatan penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak dilarang, tetapi upaya kristenisasi atau islamisasi sebagai proselitasi tidak diperkenankan. Jika tata cara penyebaran agama bisa diatur, tidak akan ada lagi tuduhan kristenisasi, islamisasi, atau pemurtadan.
Keempat, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah, dianggap bertentangan dengan UU. Konsekuensinya, pencantuman agama dalam kartu identitas, misalnya, tidak diperlukan, karena bisa membuka peluang bagi favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk atau berpengaruh di pemerintahan.
Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yang bersifat antiagama dan anti-Tuhan harus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam rangka ateisme ini juga dilarang mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis, sebagai diskursus ilmiah, tidak dilarang tapi boleh dibantah secara ilmiah pula.
Dilematisme keberagamaan seringkali muncul ketika nilai pluralisme dihadapkan dengan nilai tauhid dalam ajaran Islam. Secara etimologis tauhid berarti mengesakan. Formulasi paling pendek dari nilai tauhid tersebut adalah kalimat la ilaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah). Seorang manusia tauhid mengemban tugas untuk melaksanakan tahrirun nas min ‘ibadatil ‘ibad ila ibadatillah (membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia menuju penyembahan hanya ke pada Allah S.W.T).
Persoalan tersebut bisa terjawab dengan memaknai agama dalam dimensi vertikal dan hubungan horizontal. Nilai tauhid dimaknai sebagai bentuk pengabdian hamba pada Khaliknya yang tidak terbatasi oleh penyembahan dalam bentuk apapun selain hanya ke pada Allah S.W.T. Sedangkan hubungan horizontal tersebut, inilah yang dimaknai dalam bingkai pluralisme, artinya silahkan beragama menurut apa yang saudara yakini dan kami beragama sesuai dengan keyakinan kami.
C. Toleransi dan Budaya Komunikasi Umat Beragama
Sesungguhnya moralitas agama yang paling mengesankan dalam kehidupan manusia adalah menolak kejahatan dengan kebaikan. Etika ketuhanan yang selalu tulus memberikan “air susu” disaat orang suka melempar “air tuba”. Kendati setiap hari orang beragama disakiti, tetapi ajaran agamanya memintanya untuk bersabar dan kalau perlu memaafkan. Dengan keyakinan bahwa sikap sabar dan memaafkan itu justru akan mendekatkan dirinya dengan cinta kasih Tuhan dan menjauhkan musuhnya dari kasih sayang-Nya (Maliki, 2000).
Berbagai kajian komparatif-historis terhadap praktik-praktik kekerasan di Indonesia memperlihatkan betapa sangat dalamnya akar-akar budaya kekerasan telah tertanam dan tersebar luas. Di situ penggunaan cara-cara kekerasan, baik yang dilakukan secara sistematis oleh negara maupun praktik-praktik sporadis masyarakat, sering kali diterima sebagai jalan penyelesaian masalah yang legitim. Bukankah jalan penyelesaian yang lebih beradab, yakni melalui mekanisme hukum, kerap disumbat oleh kepentingan kelompok yang lebih beruntung ?
Salah satu temuan menarik yang dikemukakan Colombijn dan Lindbald (Hidayat, 2001) adalah bahwa kekerasan dipandang sebagai cara legitim "hanya jika ditujukan pada orang asing (outsiders)." Di sini, "orang asing" merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok (outgroup), tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok (ingroup) yang dipersepsi sebagai "orang asing". Atau bahkan bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti "zionis", "kapitalis", "komunis", dstnya yang tidak pernah jelas dan berlaku semena-mena.
Dengan kata lain, akar-akar kekerasan itu sudah ada pada bagaimana cara kita mempersepsi dan memperlakukan sang liyan. Ketika orang lain tidak lagi diterima dan dihargai sebagai orang lain dengan segala keberlainannya, melainkan direduksi menjadi sekadar simbol identitas yang beku dan dibekukan, atau dikonstruksi sebagai “orang asing” yang layak disingkirkan, di situ kekerasan telah siap menebarkan jaring-jaring pesonanya. Masalahnya jadi luar biasa kompleks ketika identitas tersebut merupakan hasil sedimentasi (proses pengendapan) trauma historis berkepanjangan, dan selalu dihidupkan demi kepentingan langgengnya kekuasaan.
Sejarah panjang menjadi-Indonesia dipenuhi oleh trauma historis seperti itu, konstruksi “musuh-musuh imajiner” yang dapat dikenakan pada orang atau kelompok manapun yang hendak disingkirkan. Identitas kecinaan vis-à-vis “pribumi”, kekristenan sebagai “agama kolonial”, kaum penghayat kepercayaan sebagai kelompok “belum beragama” dstnya, merupakan hantu-hantu yang terus menerus menggelisahkan kenyamanan umat beragama. Pada titik itu, tidak salah jika upaya membangun tatanan ke-Indonesia-an yang anti kekerasan bagaikan upaya mempertahankan suatu utopia.
Seorang teolog dari Amerika Latin pernah mengingatkan, apa yang disebut “utopia” ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi, utopia menunjuk pada “wilayah” (topos) yang belum ada (u-topos); tetapi, pada sisi lain, utopia justru merupakan kritik terhadap tatanan yang sudah ada. Menurut teolog itu dan Penulis setuju dengannya bahwa di situlah fungsi hakiki panggilan religius yang menjadi spirit sejati setiap perjuangan melawan budaya kekerasan (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=900).
Di situ, utopia anti kekerasan merupakan resistensi terhadap pemakaian cara-cara kekerasan, yakni mengatakan “Tidak!” pada jalan kekerasan, sekaligus menyibakkan harapan bagi masa depan yang lebih baik, yakni mengatakan “Ya!” pada kehidupan itu sendiri. Dalam setiap tindak kekerasan, kehidupanlah yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan. Sebab setiap bentuk kekerasan pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap kehidupan. Budaya kekerasan hanya akan melahirkan budaya kematian.
Akan tetapi, seperti ungkapan sebelumnya di atas, mengatakan “Tidak!” terhadap budaya kekerasan harus bertitik tolak dari kritik-diri yang radikal (radix: akar). Sebab benih-benih kekerasan sudah dimulai dari pra-andaian yang melandasi bagaimana mempersepsi sang Ilahiyah, kategori-kategori yang digunakan untuk menempatkan orang lain dalam kotak-kotak kecil identitas yang beku, mendefinisikan mereka, dan sekaligus membungkam suara-suara mereka.
Pada titik inilah perlawanan terhadap budaya kekerasan berkaitan erat dengan perjuangan demi pluralisme, yakni sikap penghargaan terhadap keragaman yang memungkinkan Sang “Ilahiyah” dapat diterima sebagaimana adanya. Pluralisme tidak pernah berupaya menyamaratakan semuanyaakan tetapi pluralisme justru menerima dan menghargai keragaman, malah mau merayakan dan merawat keragaman yang merupakan buah-buah kehidupan. Dengan kata lain, pluralisme adalah mengatakan “Ya!” pada kehidupan.
Panggilan etis untuk merawat keragaman, yakni mengatakan “Tidak!” pada kekerasan dan “Ya!” pada kehidupan, menurut Penulis merupakan tuntutan paling hakiki yang harus dijawab para elite politik. Taruhannya sangat mendasar: keadaban publik yang menjamin kehidupan bersama masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia.
Berbagai fenomena dan konflik keagamaan yang sering kali muncul di berbagai wilayah yang ada di Indonesia khususnya di Wilayah Sulawesi Tengah membutuhkan sebuah formulasi paradigma pemahaman yang mampu mentransformasi masyarakat pada tatanan pluralistik dan membuka keran toleransi sehingga melahirkan budaya komunikasi yang mengajak pada kebaikan dengan hikmah, mauizatil hasanah (nasehat yang baik) dan dengan proses dialogis yang santun (Wa Jadilhum Billati Hiya Ahsan).
D. Penutup
Suatu Bangsa, mempunyai Bahasa dan Negara (Tanah Air) yang sama. Hukum Ketata-negaraan serta segala aspek yang diberlakukan sesuai kesepakatan dari Bangsa itu. Suatu Bangsa juga memiliki Budaya yang sama, yang merupakan cerminan berbagai tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Akan tetapi, suatu Bangsa tidak harus memiliki satu Agama yang sama. Di dalam masyarakat modern yang menganut faham demokrasi dan skuler, perbedaan adat istiadat, ritual keagamaan serta tata-krama maupun bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnis pembentuknya, dihargai setinggi-tingginya serta merupakan kekayaan Budaya dari bangsa tersebut.
Walaupun secara lahiriah manusia tak dapat bebas secara mutlak, akan tetapi secara batiniah (terutama dalam memilih agama dan kepercayaannya masing-masing yang dianggap paling sesuai) adalah mutlak. Tak ada otoritas apapun, baik di alam ini maupun alam lainnya, yang bisa membatasi 'hak manusia' untuk menganut agamanya sesuai dengan pilihannya.
Di sinilah akar dari benturan budayawi sementara umat beragama di Indonesia. Yang pasti, yang berbenturan adalah budayanya, bukan agamanya. Agama tak penah mengajarkan siapapun untuk berbenturan satu dengan yang lainnya, karena ia masalah batiniah yang amat pribadi. Bila kita ikut-ikutan menganut budaya dari bangsa dimana suatu agama dilahirkan, secara pasti akan berbenturan dengan budaya bangsa kita. Dan ini seringkali dirancukan, bahkan oleh mereka yang menyandang predikat formal tertentu di masyarakat. Hal ini perlu disayangkan mengingat bahwa kaum intelektual lah yang justru menjadi 'agent of mutual understanding', bukan sebaliknya.




Daftar Pustaka
Hidayat, Komaruddin. 2001. Agama di Tengah Kemelut. Mediacita, Jakarta.
Maliki, Zainuddin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yayasan Galang, Yogyakarta.
Mulyana, Deddy. 2001. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyana, Deddy dan Rachmat, Jalaluddin. 2001. Komunikasi Antarbudaya. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Rais, Amin. 1999. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta. Mizan, Bandung.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Islam Alternatif. Mizan, Bandung.
­­­________________ . 2004. Psikologi Agama. Mizan, Bandung.